Chapter 8

74 3 0
                                    

Kamarku masih sama seperti yang kutinggalkan dulu. Maksudku, benar-benar sama, seolah kamar ini baru ditinggal beberapa minggu, bukannya beberapa tahun. Pintunya masih berat, tempat tidurku masih dilapisi seprai putih, lemari besar berukir warna cokelat gelap yang tidak tergoyahkan itu masih ada di pojokan ruangan di sisi kanan tempat tidur, dan jendela besar dengan gorden putih yang gendut dan tampak kuno menghiasinya. Dinding-dinding dilapisi wallpaper warna putih bermotif bunga-bunga warna kuning / emas. Satu-satunya hal yang berbeda adalah bunga di dalam vas di samping tempat tidurku. Vas itu kali ini tidak diisi bunga anggrek, tapi mawar putih yang warnanya nyaris berbaur dengan dinding. Bunga itu pasti tidak pernah absen dari kamar ini, dan rutin diganti karena wanginya menempel di mana-mana.

Aku merebahkan diri di atas tempat tidur, berniat untuk beristirahat sebentar sebelum membongkar koperku. Ranjangku lembut, dingin, dan wangi mawar. Membuatku ingin terus berbaring di sana. Kuelus bantalnya, yang diisi begitu banyak bulu sehingga sangat empuk. Tapi begitu melihat barang bawaanku, aku memaksakan diri untuk bangun dan membereskannya. Kalau aku tidak melakukannya sekarang, maka aku akan terus menunda dan bakal semakin susah melakukannya nanti. Aku membuka lemari, mencoba menelaah ruang yang bisa kugunakan untuk menaruh pakaian-pakaianku. Luar biasa, lemari pakaianku bahkan masih diisi gaun-gaun mungil yang dulu sering kupakai. Warna gaun-gaun itu sudah agak pudar, tapi keberadaannya di sana benar-benar memaksaku untuk bernostalgia. Rupanya sejak dulu ukuran tubuhku sudah kecil.

Menyadari kenyataan yang akan memberi Jon kepuasan meledekku seumur hidup, aku mendengus kesal. Kupinggirkan sebagian besar gaun itu untuk memberi ruang pada pakaian-pakaian baruku. Pemutar musik dan kamera digital hitamku langsung muncul begitu aku membuka koper. Benda itu akan menemaniku selama beberapa hari ke depan, jadi sebaiknya jangan disimpan ke dalam lemari. Aku menaruhnya di meja pinggir tempat tidurku. Selanjutnya yang kulihat adalah tumpukan t-shirt pemberian Jamie. Kusimpan semuanya di dalam lemari, beserta celana-celanaku yang didominasi warna-warna gelap. Aku juga menaruh sepasang sepatu kets dan sepatu bot kesayanganku di samping tempat tidur. Diantara semua alas kaki yang kubawa, kelihatannya tidak ada yang cukup nyaman untuk dipakai jalan-jalan di jalan berbatu.

Aku berjalan ke kamar mandi untuk menaruh peralatan mandi, dan begitu melewati sebuah cermin besar di dekat meja rias, pandanganku terpaku pada pantulannya. Aku tersentak kaget. Ini untuk pertama kalinya aku melihat wajahku di cermin.

Penampilanku benar-benar rusak. Mataku bengkak, kentara sekali seperti orang habis menangis. Rambutku kelihatan lengket, acak-acakan, dan sedikit lebih panjang dari yang kuingat. Pakaianku kelihatan sudah kumal, menempel ke kulitku karena keringat. Dan di sana, di pangkal leherku, bandul kalung itu tercetak meski tertutup kemeja.

Senyum pedihku mengembang. Yah, jika ada satu hal baik, itu adalah sejak masuk ke desa, aku belum memikirkan Fabrizio sekalipun sampai melihat kalung ini. Ternyata artikel itu benar. Mencari jalan keluar sementara adalah langkah yang bagus untuk mengatasi patah hati. Mungkin jika kuberi cukup waktu, mengingat Fabrizio tidak akan terlalu menyakitkan lagi. Aku yakin pikiran tentang dia tidak akan begitu saja pergi, karena selama dua belas bulan belakangan, aku selalu menghabiskan waktu dengannya. Tapi mungkin nanti pikiranku akan teralihkan oleh suatu hal yang baru. Siapa tahu? Dan aku mati-matian ingin meledek Jon sekarang. Bodoh sekali dia, berpikir kalau lari dari masalah adalah hal yang konyol. Dalam kasusku, lari dari segala tentang Fabrizio jauh lebih mudah daripada harus bertahan dan menghadapinya. Seandainya saja aku bisa menemukan telepon, aku pasti akan membayar berapapun supaya bisa meledek Jon. Sepertinya menyenangkan.

Koperku sudah mulai kosong, dan aku kembali berbaring di ranjang. Kuambil kamera di sebelahku, menyalakannya, lalu mulai melihat-lihat foto ulang tahun hanya untuk mengetes diriku sendiri. Sejak kemarin, aku sengaja menjauhkannya karena tahu di dalam benda ini pasti ada banyak gambar Fabrizio. Aku takut akan menangis kalau melihatnya. Tapi sekarang, setelah aku lebih tenang, aku ingin tahu reaksiku sendiri kalau melihat foto Fabrizio.

The WardrobeWhere stories live. Discover now