"Sam," Fabrizio menatapku dengan tatapan ketakutan. Ia menggeleng-gelengkan kepala, seolah tidak percaya kalau aku ada. Dia berbeda sekali dengan Fabrizio yang menemaniku seharian.
Aku menelan ludah. "Kenapa?"
Dia melangkah mundur. "Sana pergi," usirnya. Ia mulai kelihatan panik.
"Tidak mau," tolakku. Melihat dia begitu dekat, rasanya aku sangat ingin menggapainya. Tapi sedetik kemudian aku ingat kalau aku mungkin membunuhnya dengan kemampuanku. Aku akhirnya mengalah, lalu menjauhinya. Fabrizio memegang tanganku, dan sorot matanya berubah. Dia tidak lagi kelihatan ketakutan atau putus asa. Matanya berkilat-kilat marah. "Fabrizio, kau..."
Fabrizio tidak berkata apa-apa. Dia tidak bergerak sedikitpun. Matanya menatapku lekat-lekat, lalu sorot matanya berubah lagi. Sekarang dia jadi seperti Fabrizio yang aku kenal.
"Sammy!" suara lainnya memanggilku dari arah berlawanan. Aku tahu itu suara siapa, tapi aku takut. Sedetikpun aku tidak mau melepaskan pandanganku dari Fabrizio. Seseorang menyentuh bahuku, dan dengan reflek aku menoleh.
Seharusnya aku tidak kaget lagi melihat dia. Lincoln tersenyum penuh arti padaku. "Kau tidak perlu takut," gumamnya. Sementara dia bicara, aku merasakan cekalan tangan Fabrizio mengendur. Aku menoleh ke arahnya, dan dia sudah berjalan ke arah Lincoln. Aku juga bisa melihat Léo di sana, dan Fabrizio bergabung dengannya. Semua ingatanku tentang ketiganya membuatku tercekat. Linc sudah mati. Léo juga. Kalau Fabrizio bergabung dengan mereka, itu bukan pertanda bagus.
"Tidak." desisku. "Tidak boleh. Tidak sekarang."
Fabrizio tersenyum. Sekarang dia benar-benar seperti Fabrizio yang kukenal. "Sam, aku..."
"Aku hanya mimpi!" jeritku. "Hanya mimpi! Hanya mimpi!"
Linc dan Fabrizio menjauhiku. Mereka seperti diseret oleh sesuatu, sedangkan Léo masih tetap ada. Mata biru terangnya menatapku dengan berbinar-binar. "Sam," ia mengulurkan tangannya sambil bibirnya menyunggingkan senyum riang.
Aku tahu itu hanya mimpi, tapi itu tidak mengurangi kekagetannya saat aku bangkit, dan melihat sesosok orang berdiri di pintu. Aku melompat dari pembaringanku, terkejut sebelum sadar bahwa itu ternyata Ben. "Hey," sapaku setelah sembuh dari kekagetanku.
"Apa yang kau mimpikan, Sam?" tanya Ben. Ia menaruh buket bunga itu di meja, lalu duduk di pinggir tempat tidurku. Ia mengusap keningku dan kilauan keringat terlihat di telapak tangannya.
"Mimpi?" tanyaku, masih terengah-engah. Aku diam sebentar untuk menenangkan diri. "Tidak ingat," dustaku.
Ben memegang kepalaku dengan sebelah tangannya. "Aku benar-benar khawatir padamu, Sam," ujarnya. "Selama tiga hari, kegiatanmu hanya membaca di perpustakaan. Kau tidak bicara dengan siapapun selain aku. Kau masih begitu labil. Jangan-jangan kau menerima lamaranku ketika kau sedang sangat sinting, dan sekarang kau menyesal?"
"Tidak," ujarku. "Kita akan menikah. Besok. Aku tidak bisa hidup lebih lama sambil menebarkan ancaman," aku beralasan. "Ayahku sudah ditelepon?"
Ben mengangguk. "Alwyn sudah melakukannya kemarin, dan kau sudah bertanya tiga kali sejak saat itu. Ayahmu berjanji akan datang, tapi tidak berjanji akan tepat waktu."
"Itu bagus," gumamku.
"Akupun senang ia memutuskan untuk ikut, mengingat apa yang sudah dilakukannya padamu untuk menghindari hal semacam ini. Kau yakin baik-baik aja?"
Aku terdiam. Tadinya ingin berbohong lagi, tapi aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Tangan Ben yang tadinya melingkupi kepalaku, turun dan menyentuh pipiku. "Oh, aku belum memberitahumu. Hari ini aku dan Alwyn akan pergi." ujarnya setelah kami cukup lama saling diam. "Hanya sampai sore. Tadinya aku belum mau pergi, tapi ini sudah sangat mendesak."
YOU ARE READING
The Wardrobe
FantasiKehidupan Samantha Ruth berubah saat ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak kecil.