Chapter 5

93 5 0
                                    



Aku tidak tahu kapan rasa sakit itu mulai berhenti atau memudar. Aku juga tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku terbaring di lantai. Sepertinya aku ketiduran, tapi di antara sakit hati yang begitu dalam dan rasa sakit di punggungku yang ampun-ampunan, tidurku jadi terasa aneh. Seolah aku tidak benar-benar tidur, tapi hanya tersangkut di antara realita dan dunia mimpi. Tubuhku tidak bisa digerakkan, sementara aku melayang di antara kegelapan mimpiku yang pekat, dan kamarku yang suram cahayanya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku menutup mata. Tahu-tahu aku bisa melihat, dan mataku perih. Di ujung terdalam tenggorokanku, ada isakan kecil mengerikan yang terdengar seperti asma. Degup jantungku melemah. Sisi pipiku yang menyentuh lantai sudah kedinginan dan kesemutan, tapi aku terlalu malas untuk bergerak.

Kesunyian itu memberiku ruang untuk berpikir lebih baik. Bagaimana ia tega melakukan ini semua? Fabrizio-ku? Dari mana pikiran kejam semacam "memberi Sam kenangan indah terakhir lalu meninggalkannya" muncul di benaknya yang terlalu alim itu? Dia bisa saja memberitahuku. Maksudku, tidak masalah kalau dia mau menghabiskan sisa hidupnya di Italia. Tapi kenapa harus begitu caranya? Kenapa dia tidak mengatakannya secara terang-terangan pada kami? Apa dia begitu tidak mau dianggap tamat? Apa dia begitu tidak ingin kami mengingatnya sebagai orang penyakitan yang lemah? Mungkin, atau ia hanya menganggap kami tidak cukup penting untuk diberi tahu.

Aku memutar-mutar jariku di lantai, membentuk pola acak. Kebanyakan adalah huruf F dalam berbagai gaya penulisan. Bagaimana aku tidak menyadari kalau hal ini sungguh terjadi? Dengan ciuman perpisahan dan berlian dan semuanya itu, bukankah seharusnya sudah jelas? Aku sendiri juga sudah memikirkan soal itu. Bagaimana aku bisa lupa? Bagaimana bisa suara Fabrizio di telepon esok harinya membuatku yakin kalau ia masih ada di kota, hanya saja tidak bisa dikunjungi ataupun ditelepon terlalu lama karena sedang sibuk / sakit? Dan bagaimana teman-temanku bisa tertipu pada awalnya? Maksudku, Jon itu otak dari banyak rencana penipuan untuk ulang tahun atau mengerjai orang. Janis itu cerdas, meski ia pemalas setengah mati. Jamie nyaris tidak bisa diakali karena sudah terbiasa dengan kejahilan adik kembarnya. Raquel dan Aaliyah punya intuisi perempuan yang jauh lebih superior dibandingkan aku, dan bukankah Giaki seharusnya agak-agak curiga?

Tapi aku sadar kalau itu bukan salah mereka. Kami tidak bodoh, tapi Fabrizio-lah yang cerdik. Ia punya masa depan gemilang di dunia penipuan kalau ia menginginkannya, dan bisa jadi bajingan terbesar di dunia kalau memang ia berniat. Pertama-tama, ia merekam suaranya yang sedang menjawab telepon untuk diputarkan oleh Lucita setiap kali kami menghubunginya. Obrolannya agak tidak nyambung, dan selalu ia mengatakan bahwa ia sedang sibuk, telinganya sedang bermasalah, dan berjanji akan menelepon balik (yang tidak pernah dilakukannya). Itu pasti langkah pertama, supaya kami agak memberinya jarak. Belum lagi dokter yang keluar masuk, yang meminta kami untuk tidak berkunjung dulu karena Fabrizio akan dipindahkan ke fasilitas lain.

Seandainya Fabrizio menyewa dokter sungguhan, kami pasti bakal percaya. Tapi aktor kacangan yang disewanya itu agak-agak tidak punya otak, atau dia hanya lupa untuk memberi detail cerita kebohongannya. Sakit telinga yang bagaimana yang mengharuskan penderitanya dikarantina ke fasilitas khusus? Dan di mana ada fasilitas khusus untuk mengkarantina sakit telinga? Begitu Giaki memberi tahu hal ini, Jon mengamuk. Ia nekat menerobos masuk ke rumah Fabrizio dan menemukan Lucita di sana, dengan setumpuk rekaman yang sudah disiapkan untuk tiga hari berikutnya. Jon memaksa Lucita mengaku, yang akhirnya memberitahu kami kalau Fabrizio sudah kembali ke kampung halamannya di Italia. Pergi sekitar seminggu yang lalu. Tepat di malam ulang tahunku.

Hari itu adalah hari yang mengerikan karena kami semua mengamuk, kesal karena sudah dibohongi. Tapi kami masih menginginkan penjelasan kenapa Fabrizio yang selalu kalem itu harus menipu kami hanya untuk berobat / kembali ke kampung halamannya. Lucita tidak mau membahas detail, meskipun Jon sudah berteriak dan mengancam dengan ancamannya yang paling mengerikan. Wanita tua itu sungguh gigih. Ia mengusir kami dengan sapu dan bahasa Italia yang aku yakin artinya kasar, dan mengunci pintu rapat-rapat. Kami mulai memborbardir Fabrizio dengan e-mail, pesan singkat, telepon, meski jelas yang terakhir tidak banyak dicoba karena teleponnya tidak aktif, dan kami tidak tahu nomor teleponnya di Italia. Kami mencoba mendekati Lucita lagi, tapi apa yang kami temukan sungguh mengejutkan. Di depan rumah Fabrizio, ditempel tanda bahwa RUMAH INI DIJUAL. Lucita sudah tidak bisa ditemukan lagi.

The WardrobeWhere stories live. Discover now