Arvan tertawa sembari memegang perutnya yang terasa kaku, baru saja Dia mendengar cerita dari sahabatnya, Alham tentang kejadian di koridor antara Alya dan Annan membuatnya tertawa terpingkal – pingkal.
"Adikku pintar banget ya?? Abangnya aja gak pernah membuat si terkutuk Annan itu kesakitan,"
"Tunggu.. adik?? Alya?? Saudara kembarmu??"
"Bukan, dia tinggal di rumahku satu bulan ini,"
"Wah.. jadi apa rumahmu??"
"Maksudmu??"
"Kalian kan jarang akur,"
"Sial,!! Tapi gapapa deh sekali – sekali,"
"Ekh bro.."
"Apa??"
"Itu.."
"Apa??"
"Itu si Alya kan??? sepertinya terjadi sesuatu yang tidak baik deh," tanpa menanggapi ucapan Alham, Arvan bergegas menghampiri arah yang ditunjuk Alham, disana ada Alya dengan deraian air mata menatap ponselnya nanar.
"Kenapa??" Alya langsung menyeka air matanya saat suara Arvan bertepi di telinganya.
"Gapapa,"
"Jujur aja,"
"Aku kangen Ibu sama Ayah,"
"Tinggal telfon kan??"
"Pulsanya sekarat, menderita.." Arvan yang tak bisa menahan tawanya langsung terpingkal membuat Alya cemberut.
"Emang ada yang lucu??"
"Kamu polos banget sih??? Adikku, yang polos apa o'on ya??"
"Kok Kamu malah ngehina sih??"
"Yaa lucu aja, gini deh berhubung Kamu udah membuat Kakakmu tertawa karena tragedi antara Kamu dan Annan di koridor tadi, maka dengan rendah hati dan baiknya kakakmu ini.."
"Gak usah pakai pidato bisa kan???"
"Oke, langsung saja Aku pinjemin pulsa,"
"Kok Cuma minjem, kasih dong.."
"Oke deh, buat adik yang gak benar – benar polos," Alya tersenyum sumringah saat ponsel bermerk itu ada di tangannya dengan segera Dia menyalin kontak dan menelfon kedua orangtuanya, Arvan yang melihatnya tersenyum manis, merasa lega saat melihat adiknya itu tersenyum kembali, adik??? Apa hanya sebatas itukah perasaannya?? Hanya sebagai Kakak sementara untuk gadis berjilbab rapi dengan pipi tembam dengan paket lesung pipi dan wajah manis, sungguh sangat menggoda iman jika saja gadis yang saat ini menjadi adiknya mengenakan pakaian mini.
"Astaghfirullah.. mikirin apa sih, ampuni Aku Ya Allah.." Arvan mengusap wajahnya. Mengelus dadanya mengucap istighfar berkali – kali.
Alya tersenyum lebar saat menyerahkan ponsel Arvan , sedang Arvan yang tak pernah melihat Alya seperti itu terdiam di tempatnya, seakan Dia terbang, sungguh baru kali ini ada yang membuatnya seperti ini, dan senyum Alya adalah kebahagiaan untuknya.
"Makasih Kakak.."
"Sama – sama Adikku," Arvan agak sedikit kecewa dengan panggilan itu, entah untuk alasan apa. Setelah itu Arvan menarik lengan Alya untuk masuk kelas dan refleks Alya melepaskannya, tersenyum sopan senyum yang akan selalu Arvan ingat dan berjalan mendahului Arvan yang diam – diam mengukir sebuah senyum manis.
__________________________
Alya sedang sibuk di hadapan komputer di ruang OSIS, senyum masih terukir dibibirnya, sesekali terkekeh setelah apa yang menurutnya selesai Dia mematikan komputernya kemudian berlalu untuk mencari Arvan , lama – lama menunggu di ruang OSIS membuatnya bosan. Alya menatap ke arah lapangan basket, tersenyum samar saat melihat Arvan sedang bermain basket dengan lincahnya namun...
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Sunset (END)
Teen FictionCinta.. obat atau penyakit ?? cinta ?? pemisah atau penyatu ?? cinta ... cinta ... cinta dan tentang cinta, di suatu senja saat tangan saling tergenggam, kemudian malam memisahkan.