Arvan menyenderkan punggungnya yang terasa lelah di punggung kursi di perpustakaan, kemudian mengurut dadanya sebentar mencoba mengatur nafasnya yang sedari tadi memburu dan sesak, Alya melihat itu dari kejauhan, tak terasa air mata Alya menetes dengan segera Alya menyekanya, kemudian berjalan menghampiri Arvan .
"Jangan menekan dadamu seperti itu, itu hanya akan membuatmu tambah sesak," Arvan menoleh kemudian tersenyum berusaha untuk menyembunyikan rasa sakitnya.
"Aku memegang dadaku karena Aku terkejut dengan kehadiranmu," Alya tersenyum tipis.
"Bagaimana mungkin Kamu bisa kaget sebelum Aku datang, Arvan ?? Bagaimana mungkin Kamu kaget padahal Aku tidak mengejutkanmu, jangan berusaha menyembunyikan sesuatu dariku," Arvan terdiam, termenung.
"Jelaslah..kan.." Arvan menjeda ucapannya saat mendengar suara isakan kecil, Arvan menghela nafas panjang, melihat Alya bersedih membuat dadanya semakin sesak. Dilihatnya Alya menyeka air matanya, Dia tidak tahu kenapa Alya selalu terlihat cengeng di hadapannya, ya, cengeng.
"Jangan menangis,"
"Aku tidak menangis.." Alya berkata, kemudian menatap wajah Arvan lama. "Kau harus berjuang,"
"Maksudnya?? Uhuk..." Alya menatap Arvan cemas, mencoba tersenyum seperti biasa, namun Alya segera berpaling saat menyadari air matanya kembali menetes, Dia sangat tahu kalau Arvan sedang sakit.
"Hey, Ku bilang jangan menangis.. ukh.." ucapan Arvan terpotong saat rasa sesak kian menyiksanya.
"Jangan tekan dadamu, tukang tidur,, bersenderlah," Arvan menurut, membiarkan Alya melakukan apapun semaunya.
"Biarkan Aku melepas sepatumu," Arvan hanya mengangguk. Kemudian Dia merasakan pijatan lembut di ibu jari kakinya, dan sesaknya berangsur kurang.
"Kau gila," celetuk Arvan saat rasa sesak itu berangsur pergi. "Kau seharusnya membawaku ke ruang kesehatan,"
"Aku tidak mau menggotongmu yang pingsan, Kau sangat berat tahu,"
"Setidaknya, dari pada di perpus, Kau tahu teriakan marahmu bisa mengganggu,"
"Saat orang lagi sakit, Dia tidak peduli dimanapun Dia berada, kapan, dan dalam kondisi bagaimana, begitupun saat seseorang merasa sakit hati, tidak peduli siapa, kapan, dimana meskipun itu sahabatnya, Dia akan kecewa, merasa dikhianati bahkan mungkin benci,"
"Maksud Kamu apa???"
"Kamu menyakiti Annan, menyakiti Kesha.. gadis yang Aku tahu Kamu cinta, Kamu tahu kalau Annan dan Kesha saling mencintai tapi Kamu.. pantas jika Annan membencimu,"
"Aku hanya ingin merasakan cinta, itu saja,"
"Tapi cara Kamu salah, gak seharusnya Kamu kaya' gini, gak seharusnya Kamu membohongi perasaan Kamu sendiri Arvan !! Aku tahu kalau Kamu butuh Alham, butuh Annan buat ada disamping Kamu saat Kamu kaya tadi," Alya mengatur nafasnya, kemudian bangkit saat selesai memakaikan sepatu Arvan . "Kamu tahu apa tentang Aku??!!"
"Aku tahu !! Aku tahu Arvan !! Aku tahu saat melihat obat yang sama yang biasa dikonsumsi Kak Iqbaal di kamarmu ! Alham dan Annan bilang Kamu udah banyak berubah, Kamu harus menerima apa yang Kamu rasakan saat ini Arvan .. Mereka bilang Kamu egois, Kamu keras kepala, temperamen, Aku tahu Arvan Aku tahu... kenapa Kamu seperti itu!!"
"Bagaimana Aku bisa tenang jika Aku divonis menderita penyakit yang belum ada obatnya Al,,, Aku akan mati cepat atau lambat,!! Dan Aku ingin merasakan semua yang belum pernah Aku rasakan!!"
"Kamu salah !!! seharusnya Kamu banyak – banyak berdo'a, percaya sama Allah bahwa Allah gak akan pernah ngasih ujian kepada hamba-Nya melebihi kemampuan hamba-Nya, Kamu tahu itu kan?? Kamu percayakan??"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Sunset (END)
Teen FictionCinta.. obat atau penyakit ?? cinta ?? pemisah atau penyatu ?? cinta ... cinta ... cinta dan tentang cinta, di suatu senja saat tangan saling tergenggam, kemudian malam memisahkan.