CHAPTER 1

9 0 0
                                    

"Magi-chan, patuhi perintah Ojiisan. Ojiisan lebih mengerti keadaan ini daripada kamu yang menggunakan egomu." Paman Joko memaksaku.

"Magi, ibu mengerti perasaanmu. Ibu juga merasa kehilangan, sangat. Tapi yang tersisa hanya kita berdua. Akan lebih baik kita pindah ke Indonesia untuk beberapa waktu. Kau bisa sekolah di sana, melatih kemampuanmu dan kau juga bisa mencari teman baru."Okaasan membujukku.

Bukannya aku tak mau pindah dari sini. Tapi ini adalah hari pertama setelah ayahku meninggal karena kecelakaan –yang disengaja- oleh seseorang. Mereka mencemaskanku karena aku sudah mengetahui ada apa dengan keluargaku. Karena aku melihat sendiri bagaimana ayahku dibunuh -bukan kecelakaan- oleh klan lain. Ini membuatku bingung dan jelas terpukul. Aku dan ibuku diminta untuk pindah ke Indonesia sementara waktu. Tapi entah mengapa ada kejanggalan dengan dipaksanya aku untuk pindah ke Indonesia dengan ibuku tanpa keluarga lain. Paman Joko mengusulkan itu berkali-kali hingga Ojiisan menyetujui. Berpikir lebih dalam akan semakin menambah beban dan membuat ibuku bingung.

"Baiklah. Karena ini untuk kalian semua aku menyetujui rencana pindah ini. Tapi jika terjadi sesuatu pada kami...." kalimatku terpotong.

"Magi-chan, semua akan baik-baik saja. Di sana tak ada yang mengenal kita seperti di sini. Percayalah." Paman Joko membuatku merengut.

"Baiklah jika kau sudah memutuskan begitu. kalian berangkat nanti malam dan akan sampai kemungkinan pagi. Bersiaplah Magi, Ryu." Ojiisan menyuruh ibu dan aku bersiap. Hanya ojiisan yang memanggilku Ryu, dan yang lain memanggilku dengan nama ibuku, Magi.

Aku bergegas menyusul ibuku yang sudah masuk ke dalam rumah. Kuketuk pintu kamarnya.

"Okaasan." Aku masuk dan mendapati ibukku tengah meringkuk di atas tempat tidur.

"Ya Magi-chan. Nan, nani?" tanya ibuku.

"Apakah Okaasan yakin akan keputusan ini? Bukankah sudah jelas terlihat ada sesuatu dengan kepindahan kita. Aku sedikit...." kata-kataku terpotong dengan tatapan ibuku.

"Magi-chan, karena Ojiisan sudah menyetujui kita untuk pindah, ibu yakin jika ini yang terbaik. kau sudah saatnya menjadi penerus kita. Jadi buang jauh-jauh segala pikiran buruk dan kita akan berangkat malam ini." Aku hanya terdiam mendengar kata-kata ibuku. Aku mengangguk dan keluar dari kamar.

Aku mengepak semua pakaian dan benda-benda yang ada di kamar. Semuanya akan ku bawa kecuali perabot rumah tentunya. Entah berapa koper.

Makan malam terakhir di Jepang. Aku makan seperti biasa dan banyak orang bercakap-cakap dan tertawa. Entah kegembiraan apa yang mereka punya. Apakah karena mereka akan aman jika aku pergi atau mereka memang sengaja menyingkirkanku untuk alasan lain. Ojiisan menatapku tajam. Aku berhenti makan dan meletakkan mangkuk dan hashi di meja.

"Ada apa Ojiisan? Pikiranku jelas terbaca olehmu. Sumimasen, membuatmu mendengar semuanya. Aku selesai makan." Sengaja agar kakekku mendengar pikiranku. Agar dia tahu apa yang aku pikirkan. Agar dia berpikir apa keputusannya ini benar atau salah.

Ojiisan adalah keturunan langsung dari klan kami yang tentu saja berdarah murni. Tapi karena ibuku menikah dengan ayahku yang bukan berdarah murni menjadikan darah murni terpecah dan tinggal aku saja yang tersisa karena adikku sudah meninggal. Ojiisan memiliki kemampuan membaca dan mendengarkan pikiran orang lain. Banyak yang memiliki kemampuan seperti itu jika ia darah murni dari keturunan klannya sendiri. aku tak berpikir bahwa aku adalah darah murni karena aku tak memiliki kemampuan apapun. itu faktanya.

Okaasan dan aku naik mobil melewati banyak tempat yang belum pernah kulewati sebelumnya. Lama sekali hingga kulihat papan bertuliskan Narita International Airport. Dari Kyoto hingga Narita aku bahkan belum pernah sama sekali. Seluruh kegiatan difokuskan di Kyoto, di rumah Ojiisan.

Kami berdua naik pesawat dan Ojiisan memberiku Ipod yang dulu sudah kunginkan dan disimpan sekitar beberapa bulan yang lalu.

"Ini adalah identitasmu.mungkin tidak semua tahu tentang apa yang ada di dalamnya. Tapi dia adalah salah satu dari kita dan ini akan membuatmu lebih baik." Ojiisan hanya mengatakan itu dan aku jujur tidak memahaminya. Aku melakukan ojigi padanya dan masuk ke pesawat.

"Sudah siap, Magi-chan?" Okaasan bertanya. Hanya kubalas dengan anggukan kepala seperti biasa. Dan kamipun berangkat menuju Indonesia.

"Magi, Okaasan ingin mengatakan sesuatu."

"Apa itu?" tanyaku.

"Kalaupun terjadi sesuatu pada kita, akan ada yang datang menjadi pelindung kita."

"Pelindung? Siapa?" tanyaku.

"Kau perlu tahu bahwa kau adalah keturunan darah murni.." dia tak menjawabku.

"Tapi otousan..."

"Kau adalah darah murni, adikmu lah yang memiliki darah campuran. dia tidak mungkin diburu. Karena sebenarnya dia bukan adik kandungmu. Ayahmu menikah lebih dulu sebelum denganku, lalu karena serangan sebelum ayahmu meninggal mereka semua menghilang. Lalu ketika ayahmu meninggal dia tak mengatakan apapun tentang mereka semua. Tapi aku pernah bertemu dengan istrinya, dia buta dan tubuhnya tersayat." Okaasan benar-benar membuatku kaget. Bukankah adikku sudah meninggal karena serangan itu, tapi kenapa Okaasan mengatakan bahwa dia tak mungkin diserang. Apakah-dia-masih-hidup. Lalu istri ayahku yang dulu? Ini rumit.

"Seorang berdarah murni akan ada pelindungnya walaupun kita tak tahu siapa dia. tetapi kepercayaan yang akan membuatnya menjadi pelindungmu. Bisa saja orang itu akan menjadi suamimu kelak jika ia pria, tapi itu sangat jarang. Semakin kuat atau lemah kita akan menentukan berapa jumlah pelindung kita. Jika kau kuat bisa jadi kau akan mendapat dua, tapi jika kau lemah bisa jadi kau hanya memiliki orangtua mu sebagai pelindungmu." Ibuku menatap keluar jendela yang jelas gelap.

Aku memikirkan kata-kata ibuku dan beralih menatap keluar jendela. Aku akan melaluinya nanti, jadi lebih baik pikirkan yang baik saja. Aku menutup mataku dan tidur. Kubiarkan ibuku terjaga.

NEARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang