Chapter 4 : Harapan yang Kandas

2.1K 248 6
                                    

Aku dan teman-temanku sama sekali tak bergeming. Suara-suara kegaduhan yang berasal dari luar semakin memekakan telinga.
Aku penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Kemudian kulirik Akari di sebelah. Kedua tangannya tampak mengepal kuat di atas permukaan meja. Napasnya berembus tak beraturan seperti baru saja lari maraton. Lalu aku pun memberanikan diriku bertanya kepadanya, "Akari-chan, apa kau baik-baik saja?"

Otomatis, Akari langsung menoleh ke arahku dan bisa kulihat matanya berair. Apa dia menangis? Tapi kenapa?

"Ami ..., kakakku ... ada di sana..," ujarnya terbata.

"Maksudmu di luar?" tanyaku sambil mengangkat sebelah alis.

"Itu bukan hanya sekedar di luar, Ami. I-itu ... pertarungan...," jawab Akari.

"Pertarungan apa maksudmu?" tanya Fuyuki yang seketika ikut nimbrung di tengah obrolan.

"Hei, aku tahu kau mengetahui sesuatu! Cepat bicaralah pada kami!" perintah Ayane yang tampaknya mulai tak sabaran.

"Kau bilang disana ada kakakmu, kan? Apa dia pernah memberitahumu sesuatu?" tanya Tamaki penasaran.

"Jelaskan kenapa Kou-senpai bisa tiba-tiba saja memegang sebuah shotgun!?" desak Ryuu.

Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan untuk Akari dan sepertinya hal itu membuat Akari sedikit stres. Ia tidak menjawab satu pun pertanyaan dari teman-teman dan hanya terdiam ketakutan.

"AAAAA...!!!" Tiba-tiba terdengar suara jeritan anak laki-laki dari luar lalu diikuti dengan suara jatuhnya benda berat.

Sekali lagi, suasana pun kembali hening.

"Kakak...," gumam Akari sambil meneteskan air mata.

"A-Akari-chan!? Kamu baik-baik saja?!" tanyaku panik.

"Kakaaaakkkk!!!" teriak Akari. Gadis itu berlari ke arah pintu keluar.

"Hei, kau mau kemana?" tanyaku khawatir.

Aku pun berlari mengikutinya keluar ruangan. Siapa tahu aku bisa menghiburnya setelah ini.

"Hei!! Kalian jangan kesana!! Aduh...," sahut Reina sembari menepuk keningnya.

"Memangnya ada apa di luar sana, Reina?" tanya Tamaki.

"Pokoknya kita tidak boleh membiarkan mereka!" jawab Reina lalu segera berlari mengikutiku dan Akari.

Baru saja aku melangkahkan kakiku sampai gerbang bangunan jurusan bahasa, mataku langsung menangkap sebuah pemandangan yang mengerikan.

SRASH!

"A-Akari-chan...?" gumamku syok.

Tepat 5 meter di hadapanku, kulihat seseorang menebas kepala Akari dengan pedang hingga kepala Akari terlepas dari badannya.

Sebagian cipratan darah Akari mengenai wajahku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karenanya. Sejak kecil aku memang mengalami phobia terhadap darah.

Kemudian mataku melirik ke sekitar, di lapangan sekolah aku melihat banyak senpai yang terkapar lemah. Banyak darah dan luka yang memenuhi sekujur tubuh mereka.

Lalu dalam secepat kilat, aku pun menyadari kalau orang-orang yang berada di sini hanyalah murid jurusan matematika dan jurusan bahasa. Sangat terlihat dari jas yang mereka pakai.

Jas berwarna merah maroon untuk jurusan bahasa dan jas warna hijau tua untuk jurusan matematika.

Apakah ini sebabnya, para senpai melarang kami untuk mendekati orang-orang di jurusan matematika?

Ini ... terlalu kejam.... Tega sekali mereka menyerang kami!!

Kemudian seorang senpai yang tadi baru saja membunuh Akari menyeringai tepat ke arahku. Refleks, aku mundur satu langkah. Sedangkan ia maju ke arahku secara perlahan.

"Wah, wah, dalam satu hari saja aku sudah bisa menghabisi dua generasi baru jurusan bahasa. Aku benar - benar hebat, " ujarnya sembari mengayunkan pedang ke udara.

"D-dua katamu!?" seruku panik sambil terus melangkah mundur.

"Ya, pertama anak tadi dan keduanya...," ujar senpai itu memberi jeda di kalimatnya.

Aku menenggak saliva dalam kengerian. Jantungku bermarathon. Tidak terbayang di otakku apakah yang selanjutnya akan terjadi.

"Dirimu!!" serunya lalu melesat cepat ke arahku.

JLEB! Suara tusukan benda tajam pada sebuah daging terdengar.

Apakah aku mati? Tapi aku tidak merasakan sakit sama sekali. Perlahan, aku membuka mataku dan kulihat Kou-senpai berdiri di depanku.

"Sudah kubilang jangan keluar, kan?" ujar Kou-senpai pelan.

BRUK! Senpai yang tadi membunuh Akari, sekarang telah meregang nyawanya di hadapan Kou-senpai.
Ujung tombak yang dipegang Kou-senpai tampak masih basah oleh darah.

Tak lama kemudian, terdengar semacam suara sirine pemberitahuan dari arah langit. Lalu dalam sekejap para senpai jurusan matematika mundur dari daerah kami. Entah pergi ke mana.

"Ami, kamu baik-baik saja?" tanya Reina yang tiba-tiba berdiri di belakangku diikuti oleh teman-teman yang lain.

"Teman-teman ..., Akari...," ujarku terbata sambil menunjuk mayat Akari yang sudah tidak berkepala tak jauh dari kami.

Hanya dalam beberapa detik berselang, aku dapat mendengar suara tarikan napas syok dari teman-teman.

"Sekarang kalian sudah mengerti situasinya, kan?" tanya Rie-senpai. Gadis remaja itu menghampiri kami dengan jalan terpincang. Ada luka di kakinya.

"Bagaimana jika para guru tahu soal hal ini?" tanya Fuyuki dengan suara pelan.

"Para guru tidak akan pernah tahu tentang hal ini. Lagipula sekarang ini kita sedang berada di 'Dimensi Dewa' jadi ini sangatlah jauh berbeda dengan dunia asal kita," jelas Kou- senpai.

"Dimensi Dewa?" ulangku bingung.

"Berpuluh-puluh tahun yang lalu, jurusan matematika dan bahasa memiliki hubungan yang sangat baik. Mereka selalu saling menghormati dan bisa diandalkan. Kedua jurusan ini juga bisa dibilang sangat berprestasi dibandingkan jurusan lain. Mereka selalu bersaing secara sportif."

"Namun suatu ketika, terjadi konflik diantara jurusan bahasa dan matematika yang sangat hebat. Semenjak itulah benih-benih kebencian mulai tumbuh diantara mereka."

"Konflik seperti apa?" tanya Reina.

"Tidak ada yang tahu pasti mengenai konflik itu tapi yang jelas ..., kita dan mereka sudah terlanjur untuk saling membenci," jawab Kou-senpai dingin.

"Dan jika kalian bertanya tentang luka dan orang yang mati, tenang saja Dewa dari dimensi ini telah mengaturnya," sambung Rie-senpai.

"Orang yang terluka akan kembali sembuh ketika mereka kembali ke dunia asal sedangkan orang yang mati akan hilang dari kehidupan asli kita di bumi".

Aku dan teman-temanku saling bertatapan ketakutan. Tak ada satu pun dari kami yang mampu tersenyum. Tak terkecuali diriku. Apa-apaan semua ini? Ini ... sungguh konyol!

Kami terdiam mematung dan membiarkan satu persatu senpai kembali ke dalam ruangan dengan semua rasa sakit yang mereka derita.

Seketika aku teringat dengan Irie dan hal itu membuat dadaku terasa sangat sakit. Air mataku perlahan keluar dari kelopaknya dan mengalir deras ke pipi.

"A-a-aku ingin selalu bersamamu...," lanjut Irie tanpa sedikit pun melihat ke arahku.

Kalimat Irie yang tempo lalu diucapkannya, seketika berdengung di dalam benak.

Gomen ne, Irie-kun....

🔫

Gakkou SurvivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang