15

323 33 11
                                    

Hidup inilah yang sudah kuimpikan sejak lama.

Sekarang aku hidup sendirian. Papa sudah meninggal satu tahun lalu karena kecelakaan ketika ingin datang ke upacara kelulusanku.

Sudah tiga tahun berlalu.

Senyuman gadis itu masih berbayang di benakku namun aku memilih untuk mengusirnya seakan-akan ia tidak pernah ada di kehidupanku.

Alur perjalanan hidupku memang cepat, sampai-sampai aku tidak pernah mengira apa yang terjadi selama dua tahun terakhir.

"Halo, Papa."

Aku yakin ia tersenyum puas sekarang, mengingat anaknya yang bebal soal mimpinya, benar-benar bisa membuktikan sesuatu yang membuatnya tidak percaya.

Perjuangan yang tidak sia-sia. Terkadang aku merasa menyesal karena sempat melawannya. Tetapi, mengingat diriku memilih jalan yang seharusnya kupilih membuatku agak berbangga hati.

Papa pasti senang meskipun aku tidak memilih pilihannya.

"Apa kabar Papa?" Aku meletakkan sebuket bunga aster berwarna merah dan berjongkok. "Tidak, perjalanan dari Korea ke Jepang tidak terlalu melelahkan, kok. Aku senang," bisikku.

Kematian Papa membuatku tersadar akan sesuatu.

Meskipun aku membencinya, ia selalu memberikan yang terbaik untukku.

"Papa menyerah. Memutuskan untuk membiarkanku memilih pilihan yang bahkan kau hindari. Papa tidak marah, kan?"

Menjadi seorang penyanyi memang berat, aku tersadar akan hal itu.

"Tapi aku senang bisa terlepas dari belenggu Papa, jangan marah, ya?" gurauku sambil mengelus nisan milik Papa. "Aku tidak mengerti mengapa kau begitu memaksaku untuk masuk ke jurusan yang kau pilih. Tapi, aku mengerti─"

"─Papa ingin aku menjadi penerus, kan?"

Senyuman tipis mengembang di bibirku. Sekali lagi mengelusnya. "Sudah lama aku ingin mengatakan ini, Pa. Tapi, aku ingin menjadi berbeda. Aku bukan anak kecil yang selalu menuruti keinginan Papa, tidak lagi."

"Papa, aku menyayangimu meskipun aku membencimu. Sempat membencimu," aku terus bergurau sambil tertawa kecil. "Aku akan datang lagi. Entah esok lusa atau bahkan bulan tahun berikutnya."

Menjadi penyanyi memang sibuk. Aku sadar. Papa tidak ingin melihatku kelelahan─meskipun aku selalu menunjukkan wajah kelelahan dan tidak bahagia.

Karena kenyataannya aku memang tidak pernah bahagia selama ini.

"Kau berkata macam-macam ketika dia sudah tiada. Pengecut."

Aku menoleh.

"Sudah lama tidak bertemu."

Gadis itu selalu kukenal. Suaranya. Senyumannya. Wangi tubuhnya.

"Aku ada disana di hari kematiannya. Tapi, aku menghindarimu."

Tangan rampingnya meletakkan sebuket bunga liar yang dihiasnya asal-asalan. Tetapi tetap terlihat indah. "Senang melihatmu bisa menjadi seorang penyanyi. Dua tahun yang hambar tanpaku?"

"Biasa saja."

Kami terdiam untuk beberapa saat.

"Senang melihat Jinsol bisa bersama dengan pria yang disukainya─"

"─Paling-paling tidak bertahan lama."

"Kau tidak menyukai anak itu? Siapa namanya─"

"Lee Chan. Tidak, aku menyukainya. Hanya saja, cinta semacam itu tidak akan bertahan lama."

Finding FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang