4

318 51 15
                                    


"Oppa, selamat pagi!" Jinsol mengguncang tubuhku. Ah, hari libur. Setiap minggu kami selalu pergi berjalan-jalan. Entah itu ke pantai atau hanya sekedar mengisi perut saja.

Biasanya, aku akan merasa risih jika ia mulai membangunkanku seperti itu-apalagi melihat wajahnya. Namun, entah mengapa beberapa hari ini, ia adalah sebuah pengecualian. Biar kuperjelas, ia terlalu baik untuk menjadi seperti nenek tua itu.

Di atas sofaku, Yein sudah menunggu di sana, tersenyum manis. Bibirnya bergerak mengucapkan selamat pagi. "Selamat pagi, Yein-a"

"Yein?" Jinsol mengernyit heran, membuatku segera mengatupkan bibir.

"Maksudku selamat pagi juga Jinsol-a. Hari yang cerah, bukan?" Aku tersenyum tipis dan segera turun dari tempat tidur, lantas mengusap kepalanya. "Aku akan segera turun beberapa menit lagi." Jinsol mengangguk dan meninggalkan kamarku.

Selama beberapa detik, aku dan Yein bertatapan. "Kau tidak pergi? Aku mau mandi, lho. Jangan mengintip!" ucapku dengan nada mengancam.

Yein mendengus. "Siapa juga yang ingin melihat tubuhmu? Lebih baik kulihat saja tubuh Yoongi oppa"

"Yoongi?"

"Apa? Sudah sana pergi mandi!"

Apa yang ada di pikiran Papa hari ini sehingga ia memilih untuk berwisata di daerah sekitar Gunung Fuji. Kami sarapan tanpa bersuara selain dentingan peralatan makan, begitu juga selama perjalanan. Satu-satunya yang bersuara hanyalah earphone yang terpasang di telingaku.

Yein duduk di bagian belakang. Kulirik, ia hanya memandangi pemandangan dari luar jendela.

"Pasti senang ya, meskipun ayahmu itu sibuk, masih sempat mengajak kalian berlibur." Suara Yein terdengar lesu.

Aku berpura-pura mengetik sebuah pesan dan berharap Yein melihat pesanku. "Yah seperti itulah," tulisku.

"Coba saja kau rasakan jadi diriku, ah menyebalkan. Sungguh. Aku selalu beranggapan bahwa keluargaku sangat buruk sampai sekarang—"

"Jangan seperti itu."

"Memangnya kenapa?"

"Kau bilang kita sama, kan? Ya keluargaku juga sama buruknya dengan keluargamu," aku menghela napas panjang dan mengunci layar ponselku dan melirik ke luar jendela. Yein sama sekali tidak berkata apapun setelah itu.

Ombak menerjang kakiku sehingga aku limbung sampai-sampai hampir terjatuh. Celanaku sudah setengahnya basah, namun aku tidak peduli. Suara ombak membuatku menjadi agak tenang—seolah-olah membantuku untuk melupakan kejadian akhir-akhir ini.

Tanpa sengaja aku menangkap sosok seorang gadis tengah duduk di dekat batu karang. Sendirian.

"Kau ini aneh, ya. Padahal kau melihat seorang gadis sendirian, tetapi, sama sekali tidak tergoda untuk mendekatinya—"

"Berisik."

Aku menyipratkan air ke arah Yein yang hanya dibalas tawa olehnya. "Berhenti melakukan itu, Jungkook," ucapnya sambil membalasku.

"Harusnya kau yang menghentikannya—bajuku jadi basah begini, ck." Yein hanya tertawa lepas.

Aku menjauh dari air dan duduk di atas pasir. Memandangi wajah ceria Yein dari sini. Ia terlihat senang-apa benar seburuk itukah keluarganya?

Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Hah, bagaimana aku lupa dengan hal itu.

Yein-meskipun gadis itu ceria, yang sebenarnya adalah ia kesepian. Meskipun ia merasa bahwa dirinya berhasil membuatku percaya—tidak. Sama sekali tidak. Bagiku, ia adalah seorang pembohong yang bodoh. Siapa yang percaya dengan senyumannya setelah mengetahui latar belakangnya itu?

Terlintas di pikiranku tentang teman-teman baruku—keenam orang Korea itu, apa mereka mengetahui segala tentang Yein?

Dan juga—sial, ia menyebutkan Yoongi hyung tadi. Jelas-jelas aku masih mengingatnya.

Kuingat juga wajahnya yang terlihat malu dan agak murung tadi pagi.

Ada apa di antara dirinya dan Yoongi hyung?

"Selamat pagi, Jungkook-san." Aku tersenyum canggung dan membungkuk ke arah sekumpulan gadis yang menyapaku. Yein tertawa kecil melihatku yang begitu canggung.

"Jangan begitu, Jungkook," ucapnya sambil menggeleng pelan.

Aku menaikkan alisku dan segera berjalan tidak peduli dengan celotehan pagi harinya itu.

Ketika aku menaiki tangga, Yoongi hyung turun dari tangga dan terlihat agak terkejut. Begitu juga Yein yang berada di sampingku. "Selamat pagi, hyung," sapaku sambil tersenyum dan membungkuk.

"Selamat pagi," balasnya sambil tersenyum-agak dipaksakan.

Sebelum aku berkata lagi, ia berjalan melewatiku. Yein menatapnya. Dapat kulihat wajah Yoongi hyung yang datar bercampur keheranan. Entah apa yang ia pikirkan. Apa ia berpikir bahwa aku adalah seorang anak yang aneh karena kemarin berkata bahwa aku akan menunjukkan sosok Yein yang selama ini mengikutiku?

"Jungkook, sebaiknya kita cepat-cepat ke kelas. Sebentar lagi sudah mau bel," ucap Yein. Aku mengangguk singkat dan berlari menaiki tangga.

"Masih berpikir bagaimana cara untuk menunjukkan Yein kepada kami?" tanya Taehyung sambil menepuk-nepuk pundakku seolah-olah ia berkata, bagaimana bisa kau percaya dengan hal seperti itu?

Dengan cepat, aku menggeleng. Tak berminat untuk bicara. Yang kulakukan hanyalah menatap Yein yang sibuk berlarian mengejar kupu-kupu di halaman sekolah.

"Hei, apa yang sedang kalian lakukan?" Jimin menepuk pundak kami dan ikut menatap ke luar jendela. "Mencari seorang gadis untuk kau dekati, Jungkook?" tanya Jimin sambil menyikut rusukku.

"Tidak." Aku berbalik dan menyandarkan tubuhku. "Dimana yang lainnya?" tanyaku.

"Maksudmu Hoseok, Yoongi, Namjoon dan Seok Jin hyung? Ah—Hoseok dan Namjoon hyung sedang ada ujian. Begitu juga Seok Jin hyung. Kalau Yoongi hyungaku tidak tahu," jawab Jimin.

Mendengar nama Yoongi hyung, tubuhku sedikit menegang. Ia terlihat misterius bagiku. Apa perasaanku saja?

"Jungkook!" Yein sudah berdiri di hadapan kami. Melambaikan tangannya kepadaku dan menyuruhku untuk mengikutinya.

"Maaf, aku ada urusan. Aku harus pergi." Tanpa peduli dengan teriakan mereka, aku mengikuti Yein dari belakang.

Kami berbelok di ujung koridor dan berpapasan dengan Yoongi hyung yang menatapku dengan datar. "Mau kemana?" tanyanya.

Gila, apa yang harus kukatakan.

Yoongi hyung tertawa pelan dan tersenyum. "Annyeong, Yein-a."

"Sudah lama tidak bertemu."

Halo! Akhirnya saya update lagi deh cerita ini. ㅋㅋㅋ Maaf untuk yang sudah menunggu lama. Banyak banget deh halangannya buat nulis chapter empat ini. Termasuk tidak adanya ide buat nulis cerita. u u

So, here it is. Saya harap sih memuaskan heheh. Saya terima kritik atau saran dari kalian semua, terima kasih.

Finding FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang