12

174 32 1
                                    

"Untuk apa kau menyanyi di jalanan seperti itu? Sendirian? Cih, kau semakin lama semakin gila, ya?" Monster tua itu menunjuk-nunjuk kepalaku seakan-akan ia mengatakan bahwa kepalaku tidak ada isinya.

Menamparku sekali lagi. Sialan, memangnya kau kira itu tidak sakit?

"Berhenti memukuliku─"desisku. Tanganku mengepal, siap untuk memukulnya kapan saja. Maksudku─sial. Kemana Yein pada saat-saat seperti ini?

Saat ini, aku benar-benar ingin menyalahkannya. Mengikuti audisi apanya. Mimpiku benar-benar hancur ketika mendengar monster tua itu mulai berteriak ke arahku. Memukulku. Seakan-akan apa yang kulakukan sangatlah tidak penting.

"Apa kau bilang?" Ia mendaratkan telapak tangannya di pipiku. "Sejak kapan kau bersikap kurang ajar seperti ini?!" teriakkannya menggelegar, mengisi seisi rumah kami.

Hah, haruskah kuberi nama rumah untuk tempat seperti ini?

"Kubilang berhenti memukuliku─" Emosiku sudah memuncak. Tidak. Tidak ada lagi kata mengalah dalam kamusku. Kehidupanku hancur. Dan, aku menyalahkan seorang gadis bernama Yein yang datang ke kehidupanku, untuk menghancurkannya. Semuanya.

Dan saat itu juga, aku mulai menerjangnya. Mendorongnya. Menendang. Pukulanku tepat mengenai pelipisnya. Dan ia terhuyung karenaku.

Kesetanan. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan emosiku sekarang. Tidak ada kata mengalah. Membiarkan kepalan tangannya merobek pelipisku atau membuat tubuhku seperti ingin remuk. Tidak lagi.

"Berhenti─" Mencicitlah seperti tikus, memangnya aku peduli? Tidak pernah ia merasakan apa yang kurasakan.

PRANG

Mataku mengerjap satu kali.

Yein berada disana. Memandangku lurus dengan pandangan yang tidak dapat kukatakan. Kami saling memandang selama beberapa detik sebelum akhirnya ia menunduk, membunyikan wajahnya yang terlihat kecewa.

Suara erangan Papa membuatku menoleh, memandangi wajah keluargaku yang menatapku seakan-akan aku adalah seorang monster.

Tersadar rumahku seperti kapal pecah sekarang. Dengan Papa yang babak belur dan serpihan kaca di sekitarnya. Oh, meja kaca ruang tamu kami⸺dan, aku tahu bahwa aku yang melakukannya, secara tidak sadar.

Awalnya aku merasa puas, memukuli Papa. Bersikap seolah keren. Mengetahui aku sudah berani melawannya sebelum akhirnya, aku tersadar bahwa apa yang kulakukan benar-benar salah.

Mereka memandangiku seakan-akan aku adalah seorang pembunuh⸺tidak dengan Papa. Ia justru memandangku dengan pandangan penuh kemenangan. Apa maksudnya─?

"Kau sudah besar, ternyata." Mengusap bibirnya yang lebam dan berdarah. Aku sudah tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Pertama kalinya aku kehilangan kendali dan sekarang akulah yang akan menjadi santapan seekor kucing besar.

"Papa, berhenti─" Mama menarik tangan Jinsol, menyuruhnya untuk diam.

"Berhenti mendekatiku─tch, sialan─" sebelum Papa berhasil meraihku, aku berlari keluar dari rumah. Menuruni tangga─lift sangatlah lama untuk keadaan seperti ini─dan berlari keluar dari gedung apartemenku.

Sialan, sialan. Hanya kata itu yang bisa kukatakan.

Di persimpangan jalan, aku melihat Yein. Menatapku dengan pandangan yang sama yang ia berikan di rumahku tadi.

"Apa yang kau lakukan, Jeon Jungkook?" tanyanya.

Aku menggeram. "Apa yang aku lakukan? Hah, apa pedulimu? Ini semua adalah kesalahanmu!" Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunjuk-nunjuk dirinya. "Jadi sekarang, tinggalkan aku. Tidak lihatkah aku sudah hancur seperti ini?" Masa bodoh tatapan orang-orang yang melihatku begitu aneh.

Dengan napas memburu, aku kembali berjalan, meninggalkan Yein yang hanya menunduk, diam.

Siapa bilang dunia itu adil?

Siapa yang mengatakannya? Ayo, bergulat denganku.

Siapapun bisa mendapatkan segalanya kecuali diriku, bukan begitu?

Apapun.

Segalanya.

Tanpa perlu terpaksa untuk mencapai mimpi orang lain.

Mengapa semuanya justru mengurusi kehidupanku?

Mengapa tidak mengurusi saja kehidupan mereka sendiri?

Bahkan jika berani, katakanlah hal-hal buruk tentangku, di hadapanku.

"Bibi, satu botol lagi."

Kenikmatan hanya bisa kulakukan di waktu ketidaksadaranku.

Kalian pasti tengah berpesta sekarang. Atas kehancuranku.

"Hei, pulanglah kau, anak muda─"

"─Berisik, sialan. Kau menghancurkan kesenanganku."

Kuhabiskan malamku dalam kesenangan. Berusaha menghilangkan bekas-bekas memori sialan yang hinggap di kepalaku.

"Aku tidak butuh─" Meneguknya dalam satu kali. "─Mimpi-mimpiku─sialan."

Begitu mudahnya mereka membunuhku.

Tapi, aku terlalu lemah untuk membunuh mereka.

Dan, aku tidak ingin membunuh mereka. Biarkan mereka mati dengan sendirinya⸺siapa yang peduli?

"─Panggil polisi, ia pasti sudah ingin pingsan. Astaga, lihat matanya─"

Berisik, sialan.

"Kendalikan dirimu─sialan. Panggil polisi!"

Tertawa. Sekeras mungkin. Sampai dunia mendengarmu kalau kau sudah gila.

Tapi⸺siapa yang peduli?

Apa yang telah kuberikan kepada dunia?

Apa?

"Hei─bantu dia!"

Kepalaku menyentuh sesuatu⸺hangat. Hanya itu yang dapat ku rasakan.

Dan, pandanganku menggelap saat itu juga.

Aneh.

Hanya itu yang bisa saya describe dari cerita milik saya ini.

Saya sendiri menulis dengan malas malas, enggak enggak. Dan sedang dalam banyak pikiran.

Akhirnya selesai juga chapter ke-12 dan saya tengah menggarap chapter selanjutnya.

Mungkin chapter ini tidak memuaskan Anda. Tapi toh, sebagai seorang Writer, saya cukup senang jika cerita saya di publish untuk hiburan para pembaca. Tidak peduli ada yang baca atau tidak. Vote atau tidak. Komen atau tidak. Toh, tujuan saya ingin menghibur pembaca.

Dan ini untuk Shasha, yang minta double update. Maafin ya, aku masih keteteran, banyak tugas. :(

Selebihnya, aku mohon maaf. Terlambat update. Dan, terima kasih untuk kalian yang sudah mau membaca.

- a.

Finding FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang