Tak pernah sedikit pun terpikir oleh Violla untuk berada di sebuah tempat di mana dia hanya duduk terkurung di kamarnya, dan tidak berbuat apa-apa, selama hampir sebulan lebih.
Ia hanya duduk diam menatap hamparan rumput, dan merasakan hembusan angin diiringi kicauan burung yang bertengger pada pepohonan apel di depan rumahnya.
Melihat lambaian tangan seseorang dengan yang lainya, mendengar tawa riang dari kejauhan, dan merasakan hangatnya udara yang berhembus dari jendela kamarnya yang selalu ia biarkan terbuka, siang dan malam.
Ia melempar dirinya ke ranjang besar dan empuk, menatap atap kamarnya yang berwarna krem dihiasi lampu kaca berbentuk lampion putih.
Violla menghela napas, dan kembali memeluk bantal kero-keropi hijau kesayangannya. Ia meremas kuat-kuat, seakan segala perasaan kesalnya yang selama seminggu ini ia pendam dapat dilampiaskan. Tetapi tetap saja rasa sesak di dalam dadanya tak mau hilang karena menahan amarahnya, dan pertanyaan-pertanyaanya tentang semua ini.
Sebenarnya sebulan ini ia sama sekali tidak melakukan apa-apa bukan berarti tak ada yang harus dilakukan, tetapi ini adalah pemberontakannya akan semua ketidakadilan.
Aku sudah besar, dan aku bisa memutuskan semuanya sendiri! Kenapa sih, aku tidak pernah diberi kesempatan sedikit pun? bahkan untuk memilih?!
Violla sebenarnya ingin menangis, tetapi entah kenapa air matanya kering. Ia benci menangis.
***
Malam itu Violla merendamkan dirinya di bathtub, merasakan air hangat menyelimuti tubuhnya yang ramping, ia menghembuskan uap-uap putih dari mulutnya. Kepalanya bersandar pada pinggiran bathtub, lalu perlahan memeluk kedua lututnya sambil memejamkan mata. Terkadang ia melakukan hal ini di saat merasa sendiri, dan kesepian.
Violla memeluk kedua lututnya erat, seakan memeluk seseorang yang mampu membuatnya tenang. Hal ini sudah menjadi kebiasaanya selama bertahun-tahun. Bertahun-tahun ini juga ia merasa sangat tertekan. Tertekan dengan keadaan.
Violla mendadak tersadar ketika tiba-tiba saja pintu kamar mandinya diketuk keras oleh seseorang.
"Viollaa! Violla, buka!" suara seorang wanita disertai ketukan keras di pintu berkali-kali. Tanpa menjawab apa-apa, ia langsung melompat keluar, mengambil handuk dan tanpa mengeringkan tubuhnya terlebih dahulu, ia pun membuka pintu dan keluar.
Seorang wanita dewasa, dengan perawakan petite, rambut hitam sepundak, dan berkulit putih pucat, berwajah panik lalu sontak memeluk erat dirinya yang masih basah. Merengkuh wajahnya dan menatap lekat-lekat, seakan Violla barusan akan melakukan sesuatu yang menakutkan atau entah apa yang dipikirkannya.
"Maaf, aku tertidur ..." ucap Violla tanpa ekspresi. Tetapi wanita itu, yang ternyata adalah kakaknya, tidak berbicara apa-apa, namun dapat terlihat jelas mimik mukanya yang marah, seolah-olah berkata "Jangan lakukan itu lagi!"
Violla melirik sepintas ke arah jam, dan sadar bahwa ia telah berada hampir dua jam di kamar mandi.
***
Malam itu kakak membeli makanan di luar, dan memang mereka selalu makan makanan dari restoran, atau fastfood, itu pun karena mereka berdua memang tidak pernah memasak.
Violla sama sekali tidak tertarik dan kakaknya memang tidak ada waktu karena sibuk bekerja seharian, dan selalu pulang larut malam.
Mereka makan dalam keheningan. Violla merasa terlalu malas untuk berbicara apalagi berbasa basi.
Tetapi tak lama kemudian Felona mengambil beberapa berkas dari dalam tasnya di atas kursi dan mengarahkan kepada adiknya. Violla melirik sepintas, tapi ia langsung mendorong balik kembali ke arah kakaknya.
"Jangan paksa aku," ujar Violla singkat. Tanpa pertanyaan. Tapi kali ini Felona tidak diam, dia pun menghela menatap adiknya dengan serius.
"Violla, ini untuk kebaikanmu, bukan untuk siapa-siapa, buat kamu," bujuknya mencoba sabar.
Violla hanya menyinggungkan sedikit senyuman, rasa muak dan kesal membuatnya menghembus napas keras-keras, dan berusaha menjejalkan makanan sebanyak mungkin ke dalam mulut. Mengunyah tanpa berpikir, dan menelannya bulat-bulat, sampai akhirnya ia tersedak. Seperti orang bodoh memang. Felona berusaha memberinya segelas air, tapi ia tepis, dan mengambil gelasnya sendiri, mengisi air dan meminumnya tanpa jeda. Felona melirik adiknya kesal.
"Jangan berbuat hal konyol, ini adalah usulanku, aku ingin agar kau mulai masuk kuliah lagi bulan depan." Kali ini Violla balik menatap kakaknya sambil mengerutkan alis. "Aku pikir kau memang harus bergaul, melakukan kegiatan, dan bersosialisasi, Violla, bukan mengurung diri seperti ini ..." Kakak mulai menjamah tangannya, ekspresi wajahnya berangsur melembut, tetapi Violla lagi-lagi menepisnya.
Selang beberapa detik Violla mendorong kursi dan beranjak berdiri, ia tidak lagi berselera untuk melanjutkan makan malam. Perutnya mendadak kenyang dan ia hanya ingin merebahkan diri ke kasur, dan memeluk erat boneka kero-keropi kesayangannya lagi.
"Aku mau tidur," ujarnya seraya beranjak meninggalkan kakaknya di belakang tanpa sedikit pun memandang.
Ia tahu kakak pasti sedih. Felona selalu bertanggung jawab kepadanya, memikirkan dirinya, mengurusi dan sayang padanya. Felona lebih dari seorang ibu bagi Violla. Seorang saudara dan orang yang penting, walaupun tak jarang ia sakiti, seperti saat ini.
Tapi ia tak punya pilihan.
***
Kicauan burung terdengar di sudut jendela kamar. Suara gesekan dedaunan lebat pohon apel yang tertiup angin. Cahaya matahari perlahan masuk melewati jendela kamar dan menghampirinya. Silau oleh cahaya, Violla menarik bantal, dan meletakannya di atas wajah.
Di luar rumah mulai terdengar suara-suara kehidupan yang tidak pernah ia jamah selama ini. Makin lama suara kendaraan yang berlalu lalang serta jerit tawa anak-anak yang akan berangkat sekolah mulai mengusiknya, membuatnya mengeluh dan loncat dari tempat tidur.
Ia berjalan keluar kamar ke arah beranda rumahnya, bersandar pada tepian tembok, menghirup udara sejuk pagi itu sambil memejamkan mata. Mata yang masih terasa berat. Ia termenung menatap sekitarannya, melihat aktifitas di bawah sana, dengan pikiran yang kosong.
Tanpa sadar Violla menangkap sesosok pria di bawah sana. Tubuhnya tegap, berbusana formal, dengan kemeja putih yang dilipat di kedua bagian lengannya. Pria itu berjalan sambil terus memandang ke depan. Rambutnya hitam ditata rapih ke belakang, wajahnya tidak jelas dari arahnya, karena Violla hanya melihatnya dari samping. Namun, sepintas ia dapat melihat garis rahangnya yang tegas ditambah hidungnya yang lancip.
Ia sempat terpaku sesaat pada sosok itu.
Siapa ya ...? pikir Violla. Tapi akhirnya setelah beberapa menit sosok itu kemudian menghilang, Violla pun kembali ke dalam, membuka pintu kamar, dan melempar tubuhnya ke kasur.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLD ON ME
RomanceRaviolla atau Violla, seorang mantan model yang cantik dan ideal, harus terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam. Ia diberhentikan paksa dan diasingkan ke sebuah kota, atas pengawasan kakak perempuannya Felona, dan semua itu hanya demi mengikuti ambis...