REQUEST

1.6K 52 2
                                    

Omong kosong apa ini!!

Violla melempar ponselnya ke kasur. Pagi-pagi sudah membuatnya emosi.

Seenaknya saja pergi seminggu! Apa dia tak punya perasaan?!

Violla ingin melakukan sesuatu, melempar barang atau merusak apapun saking kesalnya. Tapi gerakannya terhambat luka. Ia meringis ketika otot lengannya tertarik, dan akhirnya menyerah dengan terduduk kembali di kasurnya.

Kepalanya kini penuh bayangan dirinya susah payah melakukan aktifitas. Yah, ia akui dengan sialnya. Hanya kakak satu-satunya harapan. Kepalanya kini penuh adegan menyebalkan mandi penuh perih, balut membalut yang super complicated seorang diri dan bibir serta dagu kebiruan yang nampak bengkak menawan.

Namun sebuah aroma yang dikenalnya mendadak terendus sesekali. Violla pun langsung menoleh keluar pintu.

Tidak mungkin!

Jantungnya berdegup ketika ia perlahan bangkit lalu melangkah keluar.

Belum ada sepatah kata, pandangannya kini sudah bertubrukan dengan sosok di seberangnya yang hanya berjarak dua meter, tengah menuju ke arahnya.

"Morning, kau sudah bangun?" sapanya renyah, dan Violla hanya bisa terpaku beberapa detik sebelum berlagak angkuh lalu mengangkat alis menjawab.

"Maaf, mengapa kau berada di rumahku?" Jujur ia curiga. Nada suaranya sudah berada di not terendah ditambah tatapan sedikit sinis khas dirinya. Axel tersenyum tipis menangkap ekspresi wanita di hadapannya yang semakin dekat.

"Ehm, jika kakakmu belum menjelaskan, sudah wajar kau begitu." Pria itu kini tepat di hadapannya. Menjulang beberapa puluh sentimeter di atasnya, dan Violla membenci itu. Ia selalu merasa tingginya sudah di atas rata-rata. Bahkan Felona pun hanya sebatas lehernya. Tapi kini posisinya terbalik.

"Kakak menyebalkan itu melalui pesannya hanya menyampaikan kepergiannya seminggu, lalu mengatakan, baik-baik, ya, take care, itu saja, what the f*ck!" Violla mencibir lalu membuang muka kesal.

"Easy, kau selalu sepanas ini di
pagi hari? hei, lukamu saja masih meradang." Axel dengan kasual mengusap puncak kepala Violla bermaksud menenangkan dan berhasil membuat wanita itu kembali terdiam.

"Jangan sok akrab." Violla berjalan melewati pria itu untuk menuruni tangga. Ia menyembunyikan wajahnya yang mendadak panas. Jangan sampai pria itu menyadarinya.

Axel terkekeh dari belakang menatap wanita keras kepala yang sebentar lagi mungkin menghentikan langkahnya.

Benar saja.

Violla mengurung niat ketika hendak melangkah. Ia sadar telapak tangannya terasa berdenyut setiap ia menggenggam pegangan tangga. Bibirnya melipat dan ia berjengit. Tak kurang dari lima menit kemudian menoleh malas menatap pria di belakangnya.

"Mari kubantu." Axel pun tersenyum sembari menghampiri santai. Kini ia menemukan wajah wanita di sampingnya yang masih merona, walau tetap saja dengan ekspresi angkuh.

"Begini?" Violla sedikit jual mahal ketika hendak mengalungkan lengan di leher Axel, pria itu mengangguk. Lengannya kemudian mantap menopang tubuh Violla turun, dan wanita itu pun mampu melangkah dengan ringan. Violla melirik pria itu diam-diam. Seperti yang ia lakukan kemarin, saat pria ini datang menolongnya.

"Thanks," ujarnya begitu sadar, lalu buru-buru membuang muka dan berjalan menuju dapur.

"Ternyata kau lapar? kenapa tidak bilang?" Axel terkekeh dari belakang. "Aku bisa memesan apapun yang kamu mau."

Violla tak menggubris. Ia sebenarnya benci bergantung pada orang lain selain kakak. Selain itu, memang siapa pria ini? mana mungkin dengan santainya ia bisa meminta tolong.

Walaupun aku harus duduk di kursi roda jawabanku tetap tidak.

"Tenang saja, aku masih bisa mengurus diriku sendiri." Violla menjawab tanpa menoleh. Ia sibuk membuka kulkas dan memilah-milih bahan-bahan apa yang bisa ia masak.

"Baiklah kalau begitu. Mungkin aku permisi keluar sebentar untuk merokok." Violla mengedikkan bahunya.

"Silahkan saja, kau tak perlu meminta ijin." Violla malah berpikir untuk apa perlu permisi segala, dia disini menemaninya karena diminta kakak, mau melakukan apapun bukan urusannya.

Akhirnya dua buah telur, tomat, selada dan bawang bombay ia ambil. Genggamannya hanya terbatas pada jari. Ia tak mampu menekuk telapak tangannya lebih jauh, lagi-lagi akibat perban yang terlalu tebal.

Sial benar perban ini, benar-benar membuat gerakanku terbatas!

Asap rokok tak membuat Axel melewati aroma harum masakan dari dalam. Ia terkekeh membayangkan wanita itu tetap niat memasak walau dalam keadaan begitu. Semangat
dan kemauannya ternyata keras.

"Ehm ..." Violla mengintip pria itu dari pintu halaman, "makan yuk, aku masak untuk dua porsi." Axel pun menoleh dan tersenyum tipis. Ia pun menghampiri dan mengikuti Violla masuk.

"Baik sekali kau masak untukku." Axel memuji tanpa sungkan, ia menarik kursi untuk Violla dan dirinya, lalu dengan gesit mengambil dua piring makanan yang masih tergeletak di dapur.

"Biar denganku." Ia memotong ketika Violla hendak membuka mulut, dan memberi isyarat wanita itu untuk langsung duduk.

"Aku tidak pandai memasak. Ini nasi omelet perdanaku, jangan protes." Violla menarik piringnya tanpa menunggu jawaban. Axel lagi-lagi tersenyum.

Proses makan memakan pun hening tanpa kata. Jujur Violla juga bingung mau bicara apa, selain kepalanya penuh dengan pikiran bahwa omeletnya kurang asin. Tapi setidaknya ia punya pembelaan diri bahwa asin tak baik untuk kesehatan.

Axel terlebih dahulu menghabiskan makanannya, wajahnya tak menjelaskan apapun selain ia terlihat kenyang dan senang. Ia pun bangkit dan mengambil minum untuknya dan Violla.

"Terima kasih makanannya," ujarnya sambil memberi segelas minuman.

"Jangan pura-pura gak ada apa-apa." Violla melirik pria itu, "makanan tadi kurang asin, kan?" Axel menahan tawanya.

"Kamu bilang tadi jangan protes, kamu mau jawaban jujur atau tidak?" Pria itu menatap hingga membuatnya kembali salah tingkah.

"Lupakan kalau begitu." Axel pun terkekeh. Ia semakin yakin bahwa Violla sebenarnya tidak sesinis itu, wanita itu sebenarnya manis.

"Berhenti menertawakanku, memang ada yang lucu?"

"Kau memang lucu."

"Sial."

***

Siang itu semua tak ada yang berubah. Violla masih berleyeh-leyeh di atas kasur, membaca sebuah komik teenlite sambil memeluk boneka keropi-nya.

Siang ini terasa lama, entah karena rasa bosan kerap menghampirinya. Sudah sebulan ia menghabiskan keseharian di kamar, baru sekarang ia merasa sebosan ini. Tubuhnya berguling kanan dan kiri, tapi kemudian ia meringis ketika lengannya yang di perban tertindih tubuhnya sendiri.

Axel mendapati wanita itu keluar dari kamarnya dengan muka kusut. Kebetulan pria itu baru saja keluar dari kamar mandi.

"Loh, ada apa? tidak jadi tidur siang?" Violla hanya menghela panjang.

"Kau masih disini ternyata?" Axel hanya mengangkat alis bingung. Violla kini terus menatapnya, wanita itu terlihat bimbang. "Tolong bawa aku pergi?"

Axel pun terdiam.

"Please?"

***

HOLD ON METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang