Sebuah gelang rantai perak dengan satu bandul hati. Oh, mungkin ini terlalu sweet untuk seorang Violla yang hanya terkekeh menatap pemberian Jayden semalam, bahkan ia tidak berniat mencobanya, hanya menatapnya saja. Sebenarnya bukan karena ia tidak suka, tapi ia tak ingin memberi harapan pada pria itu dengan memakainya, dan Jay akan sangat-sangat senang jika sampai begitu, jadi ia tidak mau.
Setelah akhirnya menarik nakas dan menyimpan kotak kecil itu, ia pun bergegas turun untuk menyeduh minuman. Tentu saja kali ini ia tidak begitu saja turun dengan wajah polos dan baju tipisnya seperti semalam, hari ini Violla sudah bangun dari pagi dan langsung mandi. Entah perasaannya sedang baik, ia cukup bersemangat memulai hari ini, malah ia berpikir untuk melanjutkan hasil risetnya yang sudah beberapa hari terbengkalai.
Mungkin akhirnya ia semakin terbiasa menemukan Axel di dapurnya dengan secangkir kopi dan tabloid. Tapi sepertinya ada yang tengah ia kerjakan karena tak biasanya Axel menggunakan kacamata, Violla menilik wajah pria itu yang tetap tidak berkurang ketampanannya. Mau tak mau ia akui, jantungnya ikut bereaksi.
Sampai di dapur ia sudah menemukan gelasnya di atas meja dan tentu saja dengan hot chocolate yang masih mengepulkan asap.
"Lagi-lagi kamu berinisiatif, tapi terima kasih." Violla pun menarik kursi dan duduk di samping Axel.
"Dua hari lagi Felona pulang. Kurasa dia harus melakukan sesuatu karena kudengar ia hanya berencana pulang sebentar." Axel tidak mengangkat kepalanya ketika bicara, ia tetap melihat tabliod dan ponselnya bergantian. Violla juga menyadari Axel yang tidak menggubris ucapan terima kasihnya, rasanya sedikit aneh.
"Oh, begitu. Well, sudah seminggu sih." Violla menyesap minumannya setelah mendengus. Ia ingat ketika Felona memberi waktu seminggu dan akan melihat sebesar apa usahanya pada pekerjaan baru ini. "Dia itu kaki tangan mama yang selalu sibuk memikirkan urusan orang lain." Axel kali ini tersenyum kecil.
"Felona adalah seseorang yang sangat family oriented, tidak banyak wanita yang seperti itu sekarang, mementingan kepentingan keluarga dan membuang egonya." Axel seolah meralat semua ucapan Violla dan Violla hanya terkekeh.
"Yeah. Whatever." Ia memutar mata dan sedikit kesal walau harus mengakui.
Rasa sakitnya masih ada setiap mengingat bagaimana kakak ikut andil meluluskan keinginan mama menentang hingga membawanya kemari. Tapi ya sudahlah, sampai kapan harus mengingat semuanya, bagaimana pun ia sudah berjanji pada mama hari itu, dan tidak dapat ia tarik kembali. Yang jelas dia juga sudah setuju dengan tawaran Felona menjadi bagian dari creative team itu, setidaknya usahanya cukup baik seminggu ini.
"Apa rencanamu sekarang?"
"Hmm, mungkin meneruskan hasil riset kemarin, aku cukup bersemangat hari ini."
"Oh, itu bagus, mau kubantu?" Violla menoleh ke arah Axel yang meliriknya sedikit.
"Apa yang bisa kamu bantu?" Pertanyaan Violla membuat pria itu terkekeh dan mengedik. "Kurasa tidak, ini adalah pekerjaanku maka seharusnya aku yang menyelesaikan ini sendiri."
"That's good. Kamu harus mempertahankan itu." Kali ini tatapan Axel sedikit tajam dan dalam, Violla bisa melihat itu walau di balik kacamatanya.
"What's your point?"
"My point is, don't let someone take advantage of you."
Kini mereka saling menatap namun Axel mengalihkan wajahnya lebih dulu.
"Men's minds aren't always as good as they seem, Violla, they've something, believe me."
Violla kini terkekeh. Apakah Axel sedang membicarakan dirinya sendiri? aneh sekali, tapi jika yang dia maksud adalah Jay ...
"Oh, let me guess, semalam kamu melihatnya?" Violla mencoba menerka. Jay memang datang tak lama setelah Axel pergi, kemungkinan Axel memergoki Jayden datang sangat besar.
"Jangan lupa aku bertanggung jawab denganmu selama Felona tidak ada, dan kejadian semalam kuharap tidak terjadi lagi." Nada tegas di suara Axel membuat Violla menaut alis.
"What? membawa Jayden masuk ke rumahku sendiri?" Axel mengangguk. "Jay is my friend! dan itu bahkan sebelum aku mengenalmu. Jadi jangan sampai berteman saja pun tidak boleh." Violla tertawa lagi namun dengan sinis. "Jangan membuatku geli dengan semua larangan kalian."
"Teman tidak menciummu, Violla."
Well, you kissed me.
"Kamu benar-benar memataiku, Axel?"
Violla melihat Axel kini berjalan ke arahnya. Mata pria itu berkilat dan Violla seketika membeku ketika Axel yang mendekat langsung menarik tubuhnya hingga menempel pada pria itu, dan wajah Axel yang terlalu dekat membuat Violla bisa merasakan deru napasnya dan jantungnya seketika bergemuruh.
"Axel ...?"
"Please, Violla. Jangan membuatnya semakin rumit." Lalu Axel memeluk erat tubuhnya, membuat wanita itu terdiam.
Semula ia kira Axel bakal ... entahlah, menciumnya mungkin atau bahkan melakukan apa yang pernah mereka lakukan? tapi memeluk? Violla sadar bagaimana Axel merengkuhnya cukup kuat seakan ia adalah sesuatu yang tak ingin pria itu bagi pada siapa pun, seolah rentan pecah, dan hanya miliknya seorang.
Axel mundur dan kembali menatap Violla. Violla siap jika Axel ingin menciumnya, oh, siapa Axel telah menciumnya, Axel pun bukan seorang teman seperti Jayden, tapi selalu ia biarkan, bahkan lebih dari itu. Ia tak tahu lagi apa arti berteman dengan seorang pria.
Wajah Axel semakin mendekat, Violla pun tak ragu memejamkan matanya. Sesuatu terasa menekan keningnya membuat ia membuka matanya lagi. Ternyata Axel hanya mengecup keningnya.
"Lakukan dengan baik pekerjaanmu. Hubungi aku jika ada yang kamu butuhkan." Violla hanya menggigit bibir sambil menatap wajah pria itu dan matanya yang menyorot dalam. Sesuatu di dadanya semakin membuatnya sesak. Ia tidak tahu mengapa reaksi tubuhnya semakin aneh. Ia benci harus mengakui bagaimana Axel selalu membuatnya begini.
Menginginkan sentuhannya.
***
Menyusun ternyata tidak semudah yang ia kira. Terlalu banyak catatan dan data membuat Violla agak kewalahan untuk memulai. Lagi pula apa yang sebenarnya yang akan ia bahas? tren? konsumen? atau apa? apa? sekarang ia harus benar-benar memutar otaknya untuk memilih dan menjabarkan semua data itu. Perlukah ia membuat bagan atau pengelompokan data sebelum ia bahas satu persatu menjadi sebuah kalimat dan akhirnya menjadi sebuah bab? Kenapa mendadak pikirannya buntu?
Kali ini Violla mengacak-acak rambutnya lalu bangkit dan melempar tubuhnya telungkup di atas kasur, meninggalkan tumpukan majalah, berlembar catatan, dan juga foto, belum lagi beberapa lembar print out hasil research-nya di internet, semua seolah badai topan yang bergulung-gulung dan mau tak mau ia harus masuk dan terbawa ke pusarannya.
Ia ingat ketika Felona memintanya menjadi bagian dari creative team, dan posisinya adalah sebagai fashion desainer, bahkan kakaknya juga membebaskan dirinya untuk berkreasi, namun apa yang ingin ia rancang saat ini pun bingung. Ia lupa memperhatikan peluang dan kebutuhan konsumen, seminggu yang lalu ia hanya asik mencari image dan trend tanpa memikirkan suatu inovasi.
Tapi ... tidak ada yang salah sebenarnya dengan semua ini. Ini adalah permulaan, cikal bakal dari apa yang nanti akan beranak-pinak, oh, tentu saja, ini sudah lebih dari cukup, tidak ada lagi yang perlu ia pusingkan. Alurnya sudah benar.
Violla pun seketika bangkit dari kasurnya lalu duduk tegap dan perlahan berdiri. Sebuah suara kendaraan yang seketika mendekat membuatnya melangkah ke arah jendela untuk sekedar mengintip.
Yah, Felona menepati janjinya lebih cepat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLD ON ME
RomanceRaviolla atau Violla, seorang mantan model yang cantik dan ideal, harus terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam. Ia diberhentikan paksa dan diasingkan ke sebuah kota, atas pengawasan kakak perempuannya Felona, dan semua itu hanya demi mengikuti ambis...