JEALOUSY?

1.2K 46 1
                                    

Jadi si kakak menyebalkan itu kembali dinas. Kali ini ia menyusul mama ke Paris, dan entah sampai kapan berada di sana. Ia hanya memprediksi dua minggu dan itu pun jika pekerjaannya selesai tepat waktu.

Mama memerlukannya untuk membantu membuat laporan keuangan, budget dan lainnya. Ia bilang hal ini nantinya akan terkait dengan proyek apparel yang kemarin ia ceritakan. Mama butuh perhitungan dan konsultasi dengan kakak.

Pada akhirnya memang terjawab, mengapa pria itu kembali berada di rumah ini semalam. Menunggunya hingga larut, dan mengawasi kedatangannya hingga membuat dirinya agak kesal.

Pagi itu seperti yang ia duga, Violla turun perlahan namun pasti, dan di tiga anak tangga terakhir, ia sudah bisa memastikan siapa yang tengah berada di dapur.

"Selamat pagi," sambut Axel ramah dan tenang, sama seperti sebelum-sebelumnya. Entah apakah orang ini memiliki emosi atau tidak. Ia seolah mampu me-manage tingkah dan  prilakunya dengan baik.

Seperti biasa pula Violla hanya tersenyum tipis. Ia bergulat dengan batinnya, antara menjawabnya dengan ramah atau tidak sama sekali. Apalagi sebabnya jika bukan kejadian itu. Perasaannya saja masih tak menentu hingga saat ini.

"Tea or coffee?"

"Tea, please." Violla menjawab sekenanya. Walau sebenarnya ia tidak menyukai kedua minuman ini kecuali ...

"Hot chocolate for sure?" Axel kini tersenyum, dan Violla sedikit terkejut dengan secangkir minuman yang diletakkan begitu saja di hadapannya. Ia memutar mata dan sejujurnya ingin ikut tersenyum.

Apa ia mencoba bercanda denganku?

Entah kenapa senyuman Axel membuat perutnya terasa aneh.

"Another free weeks?" Violla mencoba membuka pembicaraan, walau ia sedikit merasa canggung.

"Yah, tebakanmu tidak salah juga," jawabnya ringan, lalu menyeruput kopi hitam, "kurasa kau sudah membaca pesan Felona." Violla hanya terdiam.

"I hate her," ujarnya lalu membuang muka. Sebenarnya jantungnya kembali berdebar, dan ia pun tahu penyebabnya, hanya saja ia menampiknya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan, Felona memang melakukan apa yang seharusnya ia lakukan." Violla menoleh ke arah pria itu dan alisnya menaut.

"Yah, dan jangan bilang aku kembali dititipkan kepadamu? itukah yang seharusnya dilakukan?" Wanita itu terkekeh sinis dengan pipinya yang merona.

Axel tersenyum tipis. Ia tahu apa maksudnya, dan ia tidak bodoh untuk tahu situasi seperti apa yang tengah terjadi di antara mereka. Mungkin ia sudah cukup dewasa untuk menyimpan rapih-rapih tapi tidak dengan wanita di sampingnya. Violla begitu ekspresif, begitu spontan, dan ia buruk dalam menyimpan emosinya.

"Violla, biar kuluruskan satu hal." Axel memutar tubuhnya menghadap wanita itu, sedang Violla hanya menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. "Kita tidak perlu melakukannya jika hal ini membuatmu tak nyaman, bagaimana?" Bibir Axel kembali melengkung tipis, membuat Violla menangkapnya dan terpaku.

"Eh? b-baiklah, kenapa tidak?" ujarnya mendadak salah tingkah, dan ia langsung menyeruput hot chocolate-nya begitu saja.

"Rumahku hanya berselang tiga bangunan, kamu juga memiliki nomor ponselku, kupikir itu sudah cukup." Axel tetap memandang Violla untuk memastikan.

HOLD ON METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang