Violla langsung mendaratkan telapak tangannya pada pipi kiri pria itu. Cukup keras hingga ia yakin meninggalkan bekas. Jayden pun mengerang dan mundur sedikit.
"Kau tega, Violla." Tangannya menjamah dan mengusap pipinya berulang. "Sakit loh ..." Lalu mimiknya dibuat kecut.
"Itu masih belum cukup, dibanding menjadi tontonan orang begini!" Violla pun memutar badan dan melangkah pergi.
"Violla ... hei, please dont be angry ..." Jayden buru-buru mengekor dari belakang, seperti anak ayam mengejar induk. "Aku hanya melakukannya tanpa berpikir, i'm sorry, ok?"
"Aku sudah tidak seperti dulu lagi, bisa kau bodoh-bodohi dengan bibir dan otak mesummu itu." Violla mendengus dan tetap melangkah jauh.
"Violla aku tidak mesum, kau selalu menyalahartikan." Jayden ngeles sambil terkekeh.
"Whatever!"
Kedua orang itu akhirnya sukses mencuri perhatian. Seolah pasangan yang tengah bertengkar di keramaian. Sama-sama modis, sama-sama terlihat indo dan keduanya pun rupawan. Benar-benar membuat semua pasang mata tak mungkin untuk tidak melirik.
Violla akhirnya melunak ketika Jayden kembali meminta maaf untuk kedua kalinya, ia mulai melambatkan langkah, dan mereka pun kembali berjalan bersisian.
"Begini saja, how if i treat you as an apologize?" Jayden tersenyum tipis dan Violla hanya mengangkat sebelah alisnya.
"Boleh request?" Jayden sempat terdiam lalu akhirnya mengangguk mantap, "great!" Pria itu pun akhirnya menghela.
Violla tak ragu memesan yang ia inginkan, sejujurnya ia sedikit mengerjai pria itu karena telah lancang menciumnya begitu saja. Walau ia tak menampik, itu bukanlah pertama kalinya Jayden melakukannya. Ia mulai mengingat-ingat lagi memorinya setahun hingga dua tahun yang lalu. Jayden memang kerap menjadi pasangannya dalam setiap photoshoot, mereka dianggap serasi, baik dari perawakan, wajah dan chemistry. Tapi hanya sebatas itu saja untuk Violla, karena ia tak pernah menganggap serius pria itu.
"Seharusnya kau tak perlu menamparku sekeras ini, Violla, pipiku jadi bengkak sebelah sekarang." Jayden masih bersungut-sungut sambil meraba pipi kanannya yang mulai meradang.
"Sebab sampai kapan pun aku tahu, kau tidak akan pernah kapok melakukannya." Jayden pun tersenyum kecil.
"Kita kan sudah biasa melakukannya, jadi kupikir itu hanya hal yang kasual." Violla memutar matanya setelah menggigit crispy fillet fish-nya. "Aku tidak salah, kan?"
"Kita memang melakukannya namun hanya sebatas profesional, Jay, apa kau lupa?" kali ini pria itu tertawa mendengar Violla yang semakin ketus.
"Baiklah-baiklah, aku nyerah." Ia mengangguk dan menghela panjang. "Jadi bagaimana kabarmu sekarang? apa yang sedang kau kerjakan?" Pria itu mengalihkan untuk menjaga mood Violla. Iya pun hapal karakter moody-an wanita ini.
"Aku baik, dan tak melakukan apa pun sekarang." Wanita itu mengedik santai, lalu menyeruput minumannya yang hampir habis.
"Eh? mengapa bisa begitu?" Jayden menaut alisnya bingung, tapi Violla tak berusaha untuk menjelaskan.
"Aku malas panjang lebar, tapi memang beginilah keadaanku sekarang, aku juga sepertinya akan kuliah lagi dalam waktu dekat."
"Kau memang benar-benar memutuskan berhenti begitu saja ya, lalu hilang entah ke mana, bahkan pihak agensi banyak yang kehilangan kontakmu dan sibuk bertanya kepada kami, terutama aku."
"Tepatnya aku dipaksa untuk begitu, dan sialnya aku tak bisa apa-apa." Violla akhirnya ikut menghela panjang. Tanpa ingin bertanya lebih lanjut. Ia lebih baik tidak tahu apa yang terjadi setelah ia pergi, lagi pula untuk apa nantinya? ia juga tak berencana untuk kembali.
Jayden menangkap perubahan di wajah Violla.
"Apakah ... mamamu?" Jayden langsung ingat Violla pernah sempat bercerita ketika ia ternyata diam-diam bekerja.
Violla tak mengangguk tak juga menggeleng. Ia malas membahas lagi hal itu, ia hampir melupakannya setelah kedatangan Axel kemarin dan seminggu bersama yang malah membuatnya memikirkan hal yang lain.
"Bagaimana jika kita ganti topik, kau sudah punya pacar, Jay? bagaimana kegiatanmu sekarang?" Violla melempar senyumnya dan menatap pria itu lekat sekarang, membuat Jay membeku sesaat sebelum terkekeh salah tingkah. Violla memang secantik itu hingga mampu membuat siapa pun terpana, wanita itu hanya tak menyadarinya saja.
"Tidak, Violla, tidak ada yang sebaik dirimu, dan kegiatanku masih sama, seminggu ini aku ada kerjaan di kota ini, dan aku menginap di hotel itu." Ia menunjuk sebuah hotel berbintang di seberang mall. Violla mengangguk sekali. "Dan aku sendirian, apa kau mau mampir?" kali ini Violla mendengus lagi.
"Aku sudah tahu otak mesummu itu." Jay pun terbahak.
"Hei, kenapa sih kau selalu berpikir negatif padaku, hanya berkunjung itu wajar, kan? apa kau begitu saja melupakanku setelah dua tahun kita berpartner, aku masih ingin mengobrol?"
Violla diam dan menimang. Yah ia semakin ingat semuanya. Jay sangat berperan dengan karirnya dulu, pria ini banyak membimbingnya, membantunya mendapatkan job dan mengenalkan dirinya kepada banyak agensi, bahkan tak ada satu hari pun tanpa kehadiran pria ini di sisinya. Jay seorang sosok yang supel dan menyenangkan sebagai teman, tapi ketika ia meminta lebih, Violla selalu mundur perlahan.
"Tapi aku tidak akan lama," ujarnya melunak. Ia pikir tak ada salahnya juga, Jay adalah sahabatnya lamanya, ex-partner dan itu masih berlaku baginya hingga sekarang.
"Great, Violla, lagi pula kau selalu senggang bukan? aku bisa menemanimu seharian, kebetulan hari ini pun aku off."
"Tidak juga, sebetulnya aku sedang melakukan survei." Jay menaut alisnya. "Kemungkinan aku akan part time sebagai fashion design sambil menunggu kuliah, aku butuh banyak data."
"Apa saja yang kau butuhkan?" Jay mendadak tertarik, siapa tahu bisa membantu dan ia bisa terus bersama wanita ini seharian, selama mungkin.
"Banyak, tren, arahan, corak, bahan, dan lain-lain ..." Jay menjentikan jarinya.
"Serahkan padaku, Violla, aku jelas fasih dalam hal itu, kau tidak lupa kan, aku masih berprofesi model? aku punya banyak link dan informan untuk mendapatkan semua itu!" Violla menatap lama temannya itu sebelum sadar perkataannya benar. Jay pun nampak begitu bersemangat.
"Kau ... yakin mau membantu?"
Violla menatap wajah Jay lekat, pria itu tetap tersenyum dan mengangguk. Senyuman yang nampaknya penuh arti. Tapi menepis semua itu, tawaran Jay memang sangat menarik, dan ia butuh narasumber yang lebih akurat ketimbang hanya menerka-nerka. Ia singkirkan pikiran negatifnya sejenak.
"Baiklah kalau begitu." Violla pun memutuskan.
"Kita mulai dari tempatku saja?" kekehan Jay membuat Violla memutar matanya lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLD ON ME
RomanceRaviolla atau Violla, seorang mantan model yang cantik dan ideal, harus terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam. Ia diberhentikan paksa dan diasingkan ke sebuah kota, atas pengawasan kakak perempuannya Felona, dan semua itu hanya demi mengikuti ambis...