CAUSE AND EFFECT

3.4K 101 2
                                    

Violla turun dari kamarnya dengan malas-malasan, berjalan gontai menyusuri tangga sambil menggaruk kepala. Ia tidak jadi melanjutkan tidur. Dari sudut tangga matanya dapat langsung melihat meja makan di tengah ruang, dihampirinya meja itu sambil menatap selembar kertas yang sengaja disimpan kakak tepat di atas sebuah amplop. Ia menarik sebelah alisnya ketika membaca.

Hari ini kakak tidak pulang, ada pekerjaan yang harus diselesaikan, aku sudah menyiapkan makanan untukmu di meja, sisanya kau bisa beli sendiri dari uang di dalam amplop.

Violla menatap sebuah amplop putih di atas meja

Kalau ada apa-apa kau bisa telepon ke no ini 667-559-xxx, baik-baik di rumah, dan jangan lakukan hal yang aneh- aneh!" _kakak_

"Jangan lakukan hal yang aneh-aneh? katanya, hah ... memangnya aku mau ngapain ?" gerutunya, sambil mendengus.

Apa sih yang ada dipikiranya? selalu saja negative thinking.

Ia kini beranjak ke dapur, melempar asal selembaran kertas yang barusan dibacanya ke atas meja seakan seonggok sampah. Entah kenapa kata-kata kakak merusak mood-nya begitu saja.

Violla mengambil sesaset minuman coklat dan menyeduhnya dengan air hangat. Uap air hangat yang mengalir dari termos yang dituang, dan rasa panas ketika gelas berisi minuman itu ia dipegang sedikit membuat perasaanya lebih baik.

Ia meniup dan menyesap perlahan minuman itu sambil kembali naik ke kamarnya, meninggalkan sarapan dinginnya di meja, dan tanpa rasa menyesal memilih minuman hangat kesukaannya daripada makanan cepat saji yang tidak menyehatkan itu.

Seperti biasa spot favoritnya adalah di depan jendela kamar yang besar berbentuk persegi panjang, dengan tirai putih yang panjang hingga menyentuh lantai parket. Ia duduk sila di atas sebuah karpet, dan menatap ke arah ke jalan dari lantai dua, memandang pohon apel depan kamarnya yang rindang dan berbuah. Ia bisa menikmati kegiatannya itu hingga berjam-jam tanpa bosan.

"Hampir sebulan", ujarnya pelan, yah, hampir selama itu ia terkurung di rumah ini, tanpa hal yang bisa ia lakukan selain duduk menikmati kesendirian, dan ketidakjelasan. Rasa kesal mendadak timbul dalam dirinya. Ia mengingat-ingat kejadian empat minggu yang lalu, ketika tiba-tiba saja dipindahkan dari Jakarta ke Bandung. Ketika semua berjalan baik-baik saja, dan ketika ia sudah benar-benar menemukan apa yang benar-benar ingin dilakukannya.

Setaun yang lalu Violla berprofesi sebagai seorang model, ikut beberapa audisi di sekolahnya sejak SMA, tentu saja tanpa sepengetahuan mamanya, dan di luar dugaan, ia terpilih dari lima belas besar hingga akhirnya menjadi finalis. Tetap, tanpa sepengetahuan mamanya.

Selama setahun ia menjalani profesi itu diam-diam, sepulang sekolah, dan sesudah bimbingan belajar. Uang yang ia dapat, selalu ia tabung, atau kadang dibelikan suatu barang yang benar-benar diinginkannya.

Belajar dengan giat tetap ia lakoni, karena itu semua adalah tuntutan mamanya yang selalu menginginkan dirinya menjadi seorang dokter. Ia belajar mati-matian agar dapat masuk kelas IPA. Pagi, siang, malam dijejali berbagai bimbingan belajar, dan guru privat. Ia mengikutinya, dan menjalankan dengan sebaik mungkin, seperti juga ia menjalankan profesi 'diam-diamnya' sebagai model.

Ia bisa saja berbohong mengikuti bimbingan belajar atau pelajaran tambahan sepulang sekolah, kerja kelompok, dan hal-hal lainya selama itu berkaitan dengan sekolah dan pelajaran.

Violla tidak pernah sekali pun dicurigai, karena ia selalu mendapat nilai bagus pada tiap ujian, mengikuti bimbel sekaligus sehari selama empat jam, sehingga ia tidak perlu melakukannya tiga kali dalam seminggu.

Ia juga rajin menyelesaikan tugas-tugas tambahan ketika istirahat sekolah. Karena ia tidak pernah keluar untuk jajan atau bermain seperti teman-teman lainnya.

Violla tidak mempunyai teman dekat. Ia lebih senang duduk sendiri di kelas, berbicara seperlunya, dan teman-teman sekelas mendekati dirinya hanya karena ia pintar, tidak lebih, kecuali hampir setengah teman-teman lelaki di sekolahnya yang diam-diam memberinya tatapan tertentu, seolah menilai, seolah memperhatikan, mengagumi, dan terkadang terlihat segan, entah kenapa.

Ia juga merupakan murid teladan kesayangan para guru. Yah, seperti yang selalu diinginkan mama, seperti yang selalu diidamkan mama, tetapi, tidak buat Violla. Ia hanya menjalankan sebuah rutinitas yang berulang, kaku, membosankan dan tidak pernah merasa bahagia.

Karena kesalahannya juga yang kurang sensitif, setelah hampir satu minggu keasikan mengikuti berbagai sesi pemotretan, bertemu orang-orang baru, sampai keharusan untuknya memotong rambut demi profesionalisme, membuat mama sedikit curiga, mama mulai bertanya kenapa Violla memotong rambutnya, yang memang sebelumnya panjang. Mama menyukai rambutnya yang sepeti itu, walau baginya tak ada yang istimewa.

Di hari-hari tertentu bila ada panggilan untuk pemotretan, Violla harus meluangkan waktunya, dan terkadang karena pemilihan waktu yang tidak sesuai dengan berbagai kegiatan eskul dan pelajaran, membuat mama agak bingung dan bertanya. Hingga suatu hari ia benar-benar melakukan kesalahan fatal.

Mama yang tiba-tiba saja masuk ke kamar untuk menanyakan hasil tes Toefel, tak sengaja memergoki tangan Violla yang memegang sebuah majalah, masih terbuka dengan halaman yang memampang jelas foto dirinya yang tersenyum ceria dengan pose tampak samping. Mata mama mendadak melebar, ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menariknya dari tangan Violla tanpa bertanya dan menatapnya lekat-lekat.

Ia sudah tahu, bahwa mamanya tidak menyukai hal-hal berbau entertain, mama tidak ingin ia salah pergaulan dan terjerumus. Violla tau itu baik baginya, tetapi ia juga tahu dan mengenal dirinya sendiri. Namun, apa yang bisa dikatakan? bahkan melawan saja tak ada gunanya. Baru beberapa detik ia sudah merasa lemas dan berharap sosok di majalah itu bukanlah dirinya.

Violla menyukai pekerjaannya sebagai model, ia tak perlu terlihat pintar untuk mendapat teman, atau mengerjakan semua tugas untuk menyenangkan mama dan mendapat perhatian guru. Ia sudah tahu konsekuensinya jika sampai melakukan sesuatu yang tidak disetujui mama, yaitu hukuman.

Maka di sinilah dirinya berakhir. Di suatu kompleks kuldesak kecil daerah Bandung barat, dipindahkan paksa, dan dijaga kakak. Yah, Violla sudah seperti tahanan rumah. Meninggalkan semuanya, segalanya,dan tak ada yang tersisa, bahkan sedikit kenangan indah pun akhirnya tertutup oleh semua kekecewaan.

Bahwa ternyata hal yang menyenangkan untuknya adalah salah, dan hal yang sangat ia inginkan adalah terlarang, seolah ia adalah sebuah robot yang baru diciptakan dan siap untuk memulai segalanya dari awal, tidak perlu berinisiatif, tetapi ikuti perintah.

***

HOLD ON METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang