WHEN HAPPY BECOMES EMPTY

1.2K 46 1
                                    

Axel keluar tak berapa lama. Aroma segar menguar seiring langkahnya keluar dari kamar mandi. Kepulan asap mengintip sedikit dari balik pintu, mungkin ia baru saja mandi air hangat.

Axel dan kimono putihnya sudah nampak rapih. Wajahnya lebih cerah, dan rambutnya pun basah dengan sebelah tangan yang bergerak asal mengeringkan. Seketika ia menangkap tatapan Violla yang tengah asik memperhatikan.

"Kau juga mau mandi? rasanya lebih segar sekarang," tawarnya santai.

Violla merasa jantungnya semakin berdentum dan mungkin saja akan melompat keluar jika ia tidak menarik napas dan menghelanya berkali-kali.

"Tidak, aku baru saja mandi di rumah," ujar Violla sedikit canggung.

Axel menatap posisi wanita itu yang terduduk dengan kedua lutut menekuk dan dipeluknya erat.

"Violla ..." Wanita itu menoleh. Axel kembali memperhatikan wajah itu dengan saksama. Sebenarnya Axel sudah menyadari satu hal.

"Hmm? kenapa?" Violla berusaha menjawab setenang mungkin, padahal bibirnya mulai bergetar. Rasa gugupnya seolah memuncak ketika mata mereka kembali beradu.

"Aku tak ingin semua ini menjadi penyesalan, dan perkataanku tadi, tak usah terlalu didengarkan, aku hanya menggodamu sedikit." Ia pun tersenyum kecil, lalu duduk di sofa tepat di samping ranjang.

"Apa maksudmu?" Violla mendadak merasa bingung.

"Kita tidak akan melakukannya."

Violla menaut alis, jujur ia semakin bingung, tapi di hati kecilnya ada sedikit kelegaan, entah kenapa.

"Aku tidak mengerti," ujarnya ketus.

Axel tidak mau banyak berdebat lagi. Ia bangkit dari kursinya dan mulai duduk di samping wanita itu.

Keduanya saling bersitatap, dan Axel mulai menyentuh pipi Violla, lalu sentuhannya turun ke arah rahang, kemudian leher. Violla menggigit bibirnya sedikit, membuat Axel mendekatkan wajahnya dan perlahan mengecap bibir itu lembut, melumatnya penuh, tapi sesuatu itu membuatnya berhenti.

Violla membuka mata, dan Axel menatap bibir wanita itu bergetar. Ia pun menghela dan bergerak mundur.

"Pulanglah Violla, kau tidak siap." Axel tersenyum tipis.

"Aku hanya gugup, itu saja!" Violla bersikeras dan semakin menantangnya, namun Axel terkekeh.

"Kau lebih alami waktu itu." Ia melihat wanita itu mendengus pelan.

"Karena pada saat itu ... aku belum merasa kau ..." Ia menghentikan kalimatnya begitu tersadar, dan Axel tengah menatapnya lekat.

"Apa yang kau rasakan, Violla?"

"L-lupakan." Violla pun beranjak bangkit dan bermaksud untuk melangkah pergi karena wajahnya berangsur panas, tapi tangan Axel segera menyambar pergelangan tangannya.

"Aku juga merasakannya." Mata Violla melebar, ia perlahan menoleh,"tak bisa melupakanmu, kau memenuhi pikiranku sejak itu."

Wanita itu melipat bibirnya. Ia berbalik dan berdiri menghadap Axel. Pria itu ikut bangkit dan mendekat. Ditatapnya wajah pria itu seolah memastikan, bibirnya melengkung tipis.

"Kau juga mengganggu pikiranku terus." Violla tak sungkan menapaki dada Axel dengan kedua tangannya. Matanya ikut bergulir ke arah kerah kimono handuk Axel yang setengah terbuka. Kulit kecoklatan pria itu mengintip di baliknya, "dan jangan menyuruhku pulang."

Hentakan di dada Violla tidak menjadi lebih baik, tapi ia semakin menetapkan hatinya. Ada alasan kuat tak terkatakan di balik semua ini ; ketertarikan yang begitu kuat di antara mereka.

HOLD ON METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang