RUSH IT!

1.2K 41 2
                                    

Axel datang lagi sore itu, setelah Felona melihat adiknya naik ke atas dengan wajah aneh. Setelahnya pria itu mengatakan alasan dan apa yang telah terjadi.

Kesepakatan dilanggar, bahkan kontak fisik! Benar-benar keterlaluan!

Yah, memang nantinya mereka itu bakal ...

Ah! tapi skrenarionya bukan seperti ini. Semua harusnya berjalan lebih alami, lebih smooth! Dasar Axel bodoh!

Hampir beberapa menit ia membuang muka dari sahabatnya itu. Yang jelas-jelas baru saja membuatnya marah besar.

"Kau harus tanggung jawab dengan perbuatanmu! Violla itu bagaimana pun masih polos, dan kau ..." Felona mengambil bantal duduk untuk ia gigit keras-keras, bahkan ia hampir menyobek sarung bantal itu jika Axel tak lekas menariknya.

"Aku siap menerimanya, ok, please control your self, Fel." Felona mendengus kesal.

"How? tell me? beberapa jam lagi kau balik US and everything just nothing!" Kali ini Axel terdiam.

Ia tahu kepergiannya tidak akan sebentar. Ia hanya pulang untuk pekerjaan dan Violla for sure. Untuk sesuatu yang telah ia janjikan kepada wanita itu, dan ia tahu itu kebodohannya. Otaknya tidak bekerja dengan baik ketika ia berada dekat Violla. Logikanya mendadak lenyap.

"Kau sudah sign kerja sama dengan Mama setahun tahun yang lalu." Felona mulai membuka topik.

"Itu benar. Mamamu menawarkan peluang yang bagus untuk mengembangkan bisnisku." Axel mengangkat alis menerka apa yang dipikirkan temannya ini.

"Kau akan butuh tenaga kerja untuk melakukannya bukan? kau butuh tim kreatif, desainer, dan konsep untuk mewujudkan semua itu." Axel menaut alisnya sekarang, ia masih tak tahu ke mana arah Felona.

"Yes, you totally right. Aku belum sempat memikirkannya setelah setahun ini, kau sebenarnya mengingatkanku sekarang." Felona menjentikkan jarinya.

"Berikan skema, apa saja yang akan kau kembangkan. Apparel itu luas." Axel masih menatap lama, tapi ia akhirnya mengangguk lalu mengeluarkan note dan pulpen dari saku celananya. Dua buah benda yang menjadi andalan dan tak pernah ia lupakan. Benda dengan segudang ide yang bisa saja terlintas kapan pun, dan buktinya adalah banyaknya coretan di note itu.

Selesai menulis, Axel menyobek lembaran berukuran A6 itu, dan Felona sigap mengambil.

"Let me do this. Anggap saja ini diluar ranamu, kau hanya tahu beres. Itu hukumanmu. I'll handle this without your confirm, and all you have to do is wait for the result, whatever it will be." Axel hanya bisa terdiam.

"O-ok, sejujurnya aku tidak khawatir juga sih, jika kau yang melakukannya ..."

"Jangan terlalu yakin, Axel." Entah kenapa Axel menangkap sedikit senyuman di bibir Felona, dan ia sadar tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu saat itu tiba.

***

"Jadi aku harus mulai dari mana?" Violla membuka pembicaraan siang itu di ruang tengah. Felona hanya tersenyum.

"Tumben kau semangat sekali?"

Violla hanya terdiam tanpa memutar matanya seperti biasa. Setelah ia pikir-pikir, sebenarnya tak ada salahnya ia melakukan hal ini, toh ia memang tak memiliki kegiatan, dan tingkat kejenuhan di dalam dirinya semakin naik pada level yang menghawatirkan.

"Mungkin kau sudah bisa memulai dari sesuatu yang simpel, seperti ... melakukan survey? atau ... menganalisis tren pasar? bagaimana?"

"Kau bilang hal itu simpel?" Violla akhirnya memutar mata. Ia harus keluar dari rumah ini, mengunjungi pusat perbelanjaan, pameran, bazar bla, bla, bla. "Apa kau tahu apa itu survey?" Felona hanya mengangguk santai.

"Kau butuh kendaraan? nanti akan ku sampaikan ke Mama. Aku yakin ia tidak akan keberatan. Lagi pula sim A dan C milikmu masih aktif bukan?" Violla hanya mendengus. "Hei, jangan selalu dipenuhi emosi, aku yakin kau akan menyukai semua ini suatu saat nanti, kau hanya belum pernah mencobanya saja." Felona melirik adiknya yang terdiam. "Ini baru awal, sebenarnya tugasmu masih banyak, mendekati saja belum."

"Ya, sudah, aku bisa mulai hari ini juga, kok," ujar Violla kemudian beranjak berdiri. "Aku bisa naik apa saja, menunggu ACC mama bakal lama." Felona pun mengedik dan tersenyum.

"Terserah padamu saja, yang penting akhir minggu ini, berikan report kepadaku dari hasil surveymu nanti, anggap saja aku ini atasan sekaligus mentormu." Violla menatap kakaknya sambil menarik sebelah alisnya.

"Whatever," ujarnya kemudian berlalu.

***

Violla tak percaya ia benar-benar pergi. Bermodal Google Map ia berangkat setelah memesan taxi, dan sudah hampir satu jam ia berkeliling dan masuk dari satu toko ke toko lain, melihat-lihat, tanpa tertarik mencoba. Menyentuh bahan, menatap corak, warna, bentuk dan lain sebagainya yang diperlukan.

Setiap dua sampai tiga toko ia kunjungi, setelahnya ia akan sempatkan untuk mencatat beberapa hal yang menurutnya penting, dengan mengetik di memo ponselnya. Catatan kecil yang hanya dirinya yang mengerti.

Tak jarang beberapa pasang mata menatapnya, malah ada yang menyadari sesuatu, namun bahasa tubuh Violla yang angkuh, dan cuek, membuat mereka enggan dan segan mendekat. Violla bukannya tak menyadari itu. Ia terang-terangan sadar beberapa etalase toko tengah memajang sosoknya, tepatnya dari beberapa photoshoot yang diambil setahun yang lalu, setelah ia bekerja sama dan dikontrak untuk menjadi brand ambassador dari beberapa merk fashion terkemuka. Bahkan ia masih menerima royaltinya hingga saat ini.

"Raviolla Jones!" Ia yakin seseorang memanggil lengkap namanya. Entah kenapa ia malah bergidik. Ia sempat tak mengenali suara itu, awalnya ia enggan berbalik, namun entah kenapa kepalanya bergerak menoleh.

Seorang pria berperawakan tinggi dengan gaya modis berdiri dan tersenyum beberapa meter darinya. Rambutnya hitam panjang ia kuncir sedikit, wajah semi oriental, dan senyum dengan dua ginsul khas-nya itu.

"Jayden?" Violla terpaku di tempatnya, dan pria itu tetap tersenyum dan berjalan ke arahnya.

"Oh, kau masih ingat aku, Violla?" Jayden semakin mendekat, menghampiri wanita itu tanpa ragu.

Ia masih melihat sosok wanita yang sama seperti setahun yang lalu sebagai partner, Violla yang seketika hilang entah ke mana dan lose contact begitu saja, ia mencarinya setengah mati, lalu tiba-tiba saja ia menemukannya di mall ini, dan seorang diri.

Jayden merangkul dan memeluk Violla tanpa sungkan. Ia merindukan wanita itu. Sangat.

"Hi, Jay ..." Violla pun hanya bisa menyambut rengkuhan Jay dan membalasnya dengan sopan. "Bagaimana kabarmu?

Jay mundur untuk menatap wajah wanita itu yang hanya terpaut 10 sentimeter saja. "I really miss you, Violla."

Belum sempat Violla menjawab, Jayden langsung membungkam bibirnya begitu saja. Di tengah-tengah mall itu, dan tentu saja mereka sukses menarik perhatian sekitarnya. Tidak, mereka malah menjadi pusat perhatian saat itu juga.

***

HOLD ON METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang