The Other Night

7.1K 223 2
                                    

Aku terbangun, lagi-lagi kejadian malam itu menjadi bunga tidurku. Masih sangat jelas terekam dalam otakku kejadian itu. Sepertinya aku tidak akan bisa melupakannya, bahkan mungkin untuk selamanya.

Malam itu aku hanya bisa melihat pertengkaran Papa dan Mama dari belakang pintu kamarku. Hujan lebat yang diselingi dengan petir membuat suasana semakin menakutkan bagiku. Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa yang mereka ributkan, karena saat itu umurku masih 10 tahun. Yang jelas mereka bertengkar gara-gara wanita itu, wanita yang saat itu berdiri di depan pintu bersama seorang anak perempuan seusiaku.

"Baik, kalau Papa tetap memaksa anak itu tinggal di rumah ini, Mama yang pergi!" Ingin rasanya aku menahan mama, tapi aku hanya anak 10 tahun yang tidak bisa apa-apa. Papa berusaha menahan Mama, tapi sepertinya Mama tidak bisa ditahan lagi. Saat akhirnya Mama benar-benar pergi dengan mobilnya, aku juga tidak melihat wanita itu lagi. Aku hanya melihat anaknya yang menangis dipelukan Papa.

Lima belas menit kemudian kami di rumah mendapat kabar bahwa mobil Mama kecelakaan. Mama tidak selamat, juga wanita itu, ternyata malam itu dia ikut bersama dalam mobil Mama.

***

Aku senang karena saat itu anak wanita yang menyebabkan Mama meninggal tidak jadi tinggal di rumahku. Tapi sekarang Papa membawa anak itu karena nenek yang mengasuhnya selama ini, meninggal. Sudah beberapa bulan ini dia tinggal bersama kami, aku dan Papa.

"Kak... Kakak. Kak Dimas. Tunggu aku." Rere terus memanggilku, tapi aku tak peduli. Ku tancap gas mobilku dan segera melaju meninggalkan Rere yang masih berlari, hingga akhirnya dia menyerah dan berhenti. Dari spion mobil terlihat Rere terus memandangi mobilku sambil terengah-terengah. Aku tetap tak peduli.

**

Di rumah

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Rere belum juga menampakkan batang hidungnya. Sudah berpuluh-puluh nomor telpon coba dihubungi Papa untuk memastikan keberadaan Rere, tapi tak satu pun tahu di mana dia. Sementara aku justru berharap dia tidak pulang selamanya. Aku memang membenci Rere, sangat benci. Karena dia Mama pergi, dan karena ibunya, Mama tidak mungkin bisa kembali lagi. Seharusnya wanita itu saja yang mati, tidak perlu mengajak Mama. Dasar wanita jalang!!

Dari tadi Papa terus saja memarahiku yang menurutnya tidak becus menjaga Rere, adik perempuanku. Aku hanya diam, tak peduli semua yang dikatakan Papa. Bulshit dengan Rere, aku tidak pernah menganggapnya adik perempuanku bahkan aku tidak pernah menganggapnya ada. Tiba-tiba pintu depan terbuka, tampak seseorang masuk sambil tersenyum walaupun wajahnya terlihat sangat lelah. Rere, akhirnya dia tiba juga di rumah. Papa serta merta langsung memeluk anak kesayangannya itu.

"Kamu nggak pa-pa, sayang." Aku tidak kuat melihat pemandangan memuakkan ini. Segera aku bangkit dari tempat dudukku. Tapi, "Mau ke mana kamu?! Minta maaf dulu sama adikmu, kamu kan tahu adikmu ini baru di sini. Seharusnya kamu tidak meninggalkannya." Suara Papa terdengar bernada tinggi. Berbeda sekali saat dia berbicara dengan anak wanita jalang itu, sangat lembut.

"Emm... bukan salah Kak Dimas kok, Pa. Tadi aku keluar kelas duluan terus jajan di kantin. Mungkin Kak Dimas kira aku udah pulang duluan." Pandai sekali dia berbohong, padahal sudah jelas dia tahu aku sengaja meninggalkannya. Kenapa tidak bilang yang sejujurnya saja? Dasar anak penjilat. Aku benar-benar muak, kulanjutkan langkahku yang tadi sempat terhenti.

***

Aku berjalan menelusuri lorong-lorong kelas, suasananya begitu sepi. Entah karena aku berangkat terlalu pagi atau karena memang hatiku yang merasa kesepian, aku tak tahu pasti.

Kumpulan Cerita Pendek (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang