Konspirasi (J&G)

3.3K 125 1
                                    

Untuk kesekian kali, kulirik jam perak mungil yang terpasang di lengan kiriku. Kakiku sedari tadi entah kenapa tak mau diajak diam. Semoga rencanaku ini tidak mencurugakan. Ini pertama kalinya aku sedikit, emm.. mungkin banyak tak jujur pada kedua orang tuaku. 'Maafin putri kalian ini, Mah, Pah. Aku terpaksa melakukannya.'

Nah, itu dia orang yang kutunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Dia melambai ke arahku, tak lupa menyunggingkan senyum khas yang membentuk lubang di pipi kanannya. Manis sekali. Ya Tuhan, apa yang sudah kupikirkan?

Kubalas lambaian tangannya. Badanku yang sedari tadi bersandar di pintu mobilku kini sudah berdiri tegak. Dia menyeberang jalan sambil berlari-lari kecil ke arahku.

"Maaf telat. Tadi ada sedikit urusan sama Profesor," suaranya setelah benar-benar berada di hadapanku. Senyumnya belum juga hilang.

"It's okay. Ayo..." jawabku dan langsung membuka pintu kemudi mobil di belakangku, saat tiba-tiba dia menahan pergerakan tanganku.

"Aku aja yang bawa."

Untuk beberapa detik aku terdiam. Ada apa denganku? Tidak mungkin karena efek genggaman tangannya di lenganku, 'kan? Aku mengerjap. Berapa lama tadi aku menatapnya matanya?

"Oh, okay," balasku akhirnya. Menyerahkan kunci mobilku padanya dan memutar menuju kursi penumpang. Dia mulai menyalakan mesin mobil. Tak berapa lama mobil yang kami tumpangi pun melaju ke jalan jalan raya.

"Kamu gugup?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan matanya dari jalanan di depan.

"Hm, sedikit." Bohong! Aku sangat gugup sekarang. Ini pertama kalinya aku akan berbohong pada kedua orang tuaku, dan ini bukan hal yang sepele. Ini menyangkut masa depanku. Kulihat dari sudut mataku dia tersenyum. Entah.. aku tidak bisa mengartikan senyuman macam apa itu.

Oke, saat ini kami sedang menuju rumah kedua orang tuaku.. untuk membatalkan perjodohanku dengan seseorang pilihan mereka. dan laki-laki di sampingku inilah yang akan membantuku membatalkan perjodohan itu. Kuharap. Perjalanan menuju rumah orang tuaku entah kenapa terasa begitu lama. Padahal jarak antara rumah sakit dan rumah orang tuaku hanya sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Lalu lintas pun tidak terlalu penuh seperti biasanya. Ya, mungkin ini hanya efek dari kegugupanku.

Glenn, laki-laki di sampingku saat ini , adalah seorang dokter yang sedang mengambil pendidikan spesialis. Baru dua bulan kami saling mengenal. Ya... aku tidak sengaja bertemu dengannya di rumah sakit tempatnya praktik, saat itu kebetulan aku sedang mengantar ibuku check up. Sejak hari itu entah kenapa aku jadi sering ke rumah sakit itu. Dan ada saja alasan untukku datang. Ini serius. Alasan itu tidak pernah kubuat-buat. Mulai dari temanku yang sama, sepupuku yang melahirkan di rumah sakit yang sama, sampai aku yang tidak sengaja menabrak trotoar jalan hingga harus opname di rumah sakit itu. Kemudian entah kapan tepatnya, kami pun menjadi dekat dan akrab, sebagai teman. Teman berbincang.

Aku tidak berani melangkah lebih jauh, karena ya... saat ini aku sudah terikat dengan seseorang. Bukan... bukan dengan laki-laki pilihan kedua orang tuaku, melainkan seseorang yang sudah tiga tahun ini kupacari. Laki-laki yang sedang kutunggu-tunggu kedatangannya karena jarak memisahkan kami. Dan karena laki-laki itu pula yang membuat orang tuaku akhirnya mengambil jalan untuk menjodohkanku dengan orang plilihan mereka. Benar sekali, sejal awal orang tuaku memang tidak menyetujui hubungan kami.

Mobil kami berhenti saat lampu merah menyala. Glenn masih fokus ke depan jalan, namun sesekali melirikku sambil tersenyum. Aku juga tak habis pikir, apa yang membuat bibirnya selalu melengkung ke atas.

Oh, Tuhan... tak ada percakapan membuatku semakin gugup.

"Glenn?" kupanggil namanya. Dia menoleh sebentar, lalu kembali fokus melajukan mobil saat lampu lalu lintas berubah hijau.

"Oke, Glenn. Aku ulangin apa yang aku bilang kemarin," aku memberi jeda sejenak. Laki-laki di sampingku terlihat memperhatikan walaupun pandangannya tetap kea rah jalanan. "Kamu cuma perlu kenalin diri kamu sebagai pacar aku. Bilang kita udah setahun berhubungan, dan... kalau orang tuaku minta kamu buat lamar aku—"

"Aku akan bilang kalau aku lagi ambil pendidikan spesialis dan belum bisa cepet-cepet ngelamar kamu. Gitu, 'kan?"

Good. Kurasa dia sudah paham dengan perannya. Benar, ini hal yang mudah untuk dilakukan. Kurasa.

"Maaf, Glenn, udah repotin kamu. Makasih juga." Aku memberinya senyum tertulusku.

"Hmm..." balasnya.

Sebenarnya aku sungguh-sungguh tak enak memintanya untuk melakukan ini. Ya, karena kami baru kenal kurang dari dua bulan. Tapi hanya dia lelaki yang kukenal baik dan kupercaya saat ini.

Kemudian kami kembali diam. Otakku tengah sibuk membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Orang tuaku bukanlah tipe orang yang mudah percaya, terlebih ibuku. Dia pasti akan bertanya macam-macam nanti. Dan aku sudah sangat siap menjawab apapun pertanyaannya. Semoga.

"Jenn?"

Oh, Glenn memanggilku. Aku menoleh padanya. "Ya?"

"Kamu yakin akan nglakuin ini?"

"Ya. Cuma ini jalan satu-satunya yang bisa aku pikirin," jawabku mantap, namun sedikit was-was. Jangan-jangan dia berubah pikiran.

"Gimana..."

Aku menunggu.

"Gimana kalau aku beneran suka sama kamu?"

Ehh???    

***


Thanks,

Love,


MissCho13

Kumpulan Cerita Pendek (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang