Langkahan

3.6K 122 5
                                    

This is drabble with family theme.

***

Kalian tahu mitos 'melangkahi' dalam budaya masyarakat Jawa? Katanya, kalau seorang adik menikah dan mendahului kakak perempuannya yang belum menikah, maka kesialan akan mengikuti. Orang Sunda bilang sih 'pamali' (tidak boleh dilakukan), karena kakak perempuan yang dilangkahi konon tidak akan laku, alias jadi perawan tua. Namun, apa benar begitu? Bukankah itu hanya mitos? Yang setahu Luisa, hanya akan terjadi jika si subyek mempercayainya. Dan jelas, Luisa yang menganggap dirinya sebagai wanita modern, tidak percaya dengan hal itu.

Dukk!

"Aww..." Luisa mendesis pelan kemudian mendelik horor pada pelaku penendangan kakinya. Namun di sampingnya, si pelaku justru balik memelototinya. Dasar adik kurang ajar. Dia sudah akan balas menendang, tapi suara panggilan ayahnya langsung menginterupsi perbuatannya. "Ya, Yah?"

"Tadi ayah nanya, kamu beneran belum ada calon?"

Mendengar pertanyaan ayahnya tersebut, Luisa lantas menatap ke sekelilingnya. Ternyata semua yang berada di meja makan itu sudah menyelesaikan makan malamnya. Matanya pun beralih pada piring miliknya, tersisa dua bulir nasi dan beberapa potongan brokoli yang tadi ia sisihkan. Sendok dan garpu masih berada di kedua tangannya. Oh, ternyata dia juga sudah menghabiskan makanannya. Hanya sedari tadi, mungkin perempuan itu sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Lu?" Kali ini suara ibunya memanggil.

Sehembus napas Luisa keluarkan. "Belum, Yah. Belum ada," jawabnya yang tentu saja sudah diketahui semua orang di ruangan tersebut. Kenapa sih harus ditanya lagi?

"Ibu punya kenalan, salah satu teman ibu di yayasan—

Oh, Luisa tahu ke mana arah pembicaraan ibunya.

—Anaknya lagi cari calon istri..."

"Bu," maka dari itu Luisa menyela, dengan tanpa mengurangi rasa hormat. Ia letakkan sendok-garpu di atas piring kosongnya dalam keadaan terbalik. "Luis kan udah pernah bilang, Luis nggak mau terpaksa nikah karena diburu waktu, Bu. Apalagi pakai acara jodoh-jodohan segala."

"Tapi kamu emang diburu waktu, Luisa. Umur kamu itu udah kepala tiga, mau sampai kapan kamu melajang?!"

Suasana di dalam sana berubah hening, penuh kecanggungan. Bukan sekali-dua kali sebenarnya hal demikian dibicarakan keluarga itu. Namun tetap saja, jika sang ibu sudah menggunakan nada tinggi begitu, tidak ada yang berani bersuara. Bahkan ayahnya sekalipun memilih untuk diam. Dan si bungsu yang biasanya ceplas-ceplosnya pun enggan menanggapi, memilih sibuk dengan ponsel di pangkuannya, asyik bermain game.

Terlebih, masalah utama di sini bukan lagi tentang Luisa semata, melainkan juga adik perempuannya, Agnes.

"Keluarga Panji mau kalian nikah kapan, Nes?" akhirnya Luisa membuka suara lebih dulu. Ia bisa melihat adiknya yang mendapat pertanyaannya gelagapan.

"K-katanya kalau Ayah-Ibu setuju, minggu depan mereka mau datang buat nentuin tanggal pernikahan, Kak." Adik perempuannya itu sekilas menengok ke arah sang ibu yang duduk tepat di sebelah kanannya, lalu kembali menghadap pada Luisa di seberangnya. "Kalau bisa tahun ini."

"Mana bisa tahun ini, kakak kamu aja belum ada calon sama sekali," ibunya kembali protes.

"Suruh keluaga Panji datang minggu depan."

"Luisa!" salak Nyonya Hadinata, membuat semua yang ada di tempat itu sontak terperanjat, tak terkecuali si sulung yang menjadi objek utama. Rehan, si anak bungsu, bahkan sampai hampir menjatuhkan ponselnya. "Kamu mau jadi perawan tua?!"

"Bu, sabar... ucapan itu doa," sang ayah menengahi, mengelus lembut tangan istrinya yang tergenggam di atas meja. Mencoba menenangkannya.

Sementara di tempat duduknya, Luisa berusaha mengatur kesabarannya. Ia tidak mau juga terbawa emosi dan membuat darah tinggi ibunya kambuh. Bisa bertambah gawat nanti. "Bu..." panggil Luisa pelan. Sempat ciut saat dilihatnya sang ibu masih berwajah tegang, namun ia tetap melanjutkan. "Agnes udah tunangan lima tahun, nggak enak juga sama keluarga Panji kalau ditunda-tunda lagi pernikahannya."

"Tapi kamu belum nikah, Lu. Apa nanti kata orang kalau Agnes melangkahi kamu," ibunya tetap ngeyel.

"Ya ampun, Bu... kita ini nggak tinggal di dusun. Orang-orang di sini terlalu sibuk sama urusannya masing-masing untuk gosipin anak Ibu yang dilangkahin adiknya."

Nyonya Hadinata masih merengut. Sebenarnya benar yang dikatakan putri sulungnya, mereka tidak tinggal di lingkungan masyarakat yang terlalu mau tahu urusan orang lain. Teman-teman pergaulannya pun sudah sibuk dengan urusan bisnis dan sosial masing-masing. Mungkin mereka akan membicarakannya sejenak, lalu cepat melupakannya. Namun begitu... tetap saja, dia adalah seorang ibu. Ibu mana yang rela anak gadisnya dilangkahi anaknya yang lain? Juga... Nyonya Hadinata masih keturunan Jawa tulen. Meski sudah lama tinggal di kota metropolitan, ketakukan akan mitos itu tetap saja ada. Bagaimana kalau nanti anaknya betul-betul jadi perawan tua?

"Luis nggak apa-apa dilangkahi, Bu. Demi Tuhan, Luis ikhlas. Mungkin jodohnya Agnes memang datang lebih dulu daripada milik Luis," tambah Luisa kembali membujuk sang ibu. "Luis nggak mau egois, Bu. Biarin Agnes nikah duluan. Atau Ibu mau kedua putri Ibu justru nggak nikah-nikah?"

Ruangan kembali hening. Sang ibu menundukkan kepala, meresapi kata-kata yang baru saja disampaikan putri tertuanya. Mungkin memang dia harus melepaskan ketakutannya tentang mitos 'melangkahi' tersebut. Lagi pun ia sudah terlalu lama menunggu putri sulungnya yang belum kunjung menemukan jodohnya. Rasanya tidak adil bagi putri tengahnya jika harus menunggu lebih lama lagi. Apalagi anak keduanya itu tahun ini juga akan memasuki usia ke-27.

"Udahlah, Ma, izinin Kak Agnes nikah tahun ini. Daripada nanti dia hamil duluan."

Dakk!

"Shit!" si putra bungsu pun mendesis keras, dan seketika mendapat pelototan dari kedua orang tuanya. Giliran kakinya kini yang mendapat tendangan, tentu saja itu dari Agnes. Karma memang selalu berlaku, kan?

***

Thanks,

Love,

MissCho13

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Cerita Pendek (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang