Pisau Pertama

4K 55 0
                                    

Hujan salju berlarut panjang, pagi itu udara tampak cerah, namun hawa tetap dingin, salju bertumpuk tebal dan mengeras menjadi es. 

Jalan raya itu masih sepi belum kelihatan orang berjalan, setiap pintu dan jendela rumah-rumah sepanjang jalan raya ini masih tertutup, alam semesta seakan-akan diliputi keheningan yang menegangkan serta bau membunuh.

Dengan mengenakan mantel kulit rase tebal, Tong Thong-san duduk di atas kursi besar yang dilembari kulit harimau di ujung jalan raya, matanya memandang lurus ke jalan raya di hadapannya nan sunyi beku, dalam hati dia bersorak gembira. Dia amat puas karena perintahnya dilaksanakan dengan baik.

Jalan raya ini tertutup untuk penduduk, kini dia jadikan sebagaimedan laga, dalam jangka setengah jam, dia sudah siap mencuci tumpukan salju yang mengeras itu dengan cucuran darah Lo Toh dari Sek-ek.

Detik-detik yang ditunggu menjelang datang, jika ada orang, perduli siapa dia beranjak di jalan raya ini, maka orang itu harus dibunuh, meski hanya kakinya saja yang menginjak jalan raya ini, maka kaki itu harus dipotong.

Kotaini miliknya, siapapun jangan harap bercokol di tanah kekuasaannya, demikian pula Lo Toh dari Sek-ek pun. Kecuali Wi-pat-tay-ya, siapapun jangan harap bisa menghalangi kemauannya.

Puluhan laki-laki tegap berpakaian ketat siap-siaga, berdiri jajar di belakangnya, tangan lurus, muka beringas diliputi hawa membunuh. Di kanan kiri Tong Thong-san terdapat dua kursi besar pula. Seorang pemuda bermuka pucat, bersifat congkak dan dingin, duduk bermalas-malasan di kursi kiri, tubuhnya berselimut kulit bulu panjang warna kelabu, harganya ribuan tahil emas, jari kelingkingnya menggantol sebilah pedang panjang yang dihiasi jamrut dan permata kemilau, bersarung hitam, pedang di obat-abitkan.

Pemuda ini merasa tugas yang harus dia selesaikan terlalu membosankan, karena dia merasa kurang setimpal turun tangan terhadap lawan sejenis Lo Toh dari Sek-ek ini.

Orang di sebelah kanan berusia lebih muda, dengan sebatang Yan-ling-to yang kemilau, dia sibuk membersihkan kuku jarinya. Kelihatan dia pura-pura tenang, namun wajahnya yang menampilkan watak kanak-kanak kelihatan merah lantaran tegang dan emosi.

Tong Thong-san memahami perasaan pemuda ini. Waktu pertama kali dia menjalankan tugas yang diperintahkan Wi-pat-tay-ya dulu, demikian pula keadaannya. Tapi dia tahu kalau pemuda ini berjajar nomor dua belas di antara Cap-sha-thay-po dalam perguruan Wi-pat-tay-ya. Yan-ling-to yang selalu dibawanya itu pasti takkan mengecewakan orang.

Memang Cap-sha-thay-po asuhan Wi-pat-tay-ya selama ini belum pernah mengecewakan orang.

****

Tiba-tiba seekor anjing kurus berlari mencawat ekor dari ujung lorong di bawah temboksana melintas jalan raya. Pemuda bermuka tahi lalat mengawasi anjing yang berlari di jalan itu, wajahnya menampilkan mimik aneh, pelan-pelan tangan kiri merogoh ke saku, mendadak tangannya terayun ke depan. Sinar putih pelan berkelebat secepat kilat, tahu-tahu anjing itu mampus terpantek di jalan raya. Sebilah golok pendek kecil menembus tenggorokannya, darahnya mengalir membasahi salju, kelihatan merah menyolok.

Menyala semangat Tong Thong-san, dia berseru memuji: "Bagus, cepat benar Cap Ji-te turun tangan."

Pemuda itu amat puas akan buah karyanya, katanya angkuh: "Tong Lo-toa sudah memberi perintah, perduli manusia atau anjing, asal keluyuran di jalan raya ini, aku Toan Cap-ji pasti akan merenggut jiwanya."

Tong Thong-san mendongak tertawa gelak-gelak, serunya: "Ada Sin Su-te dan Cap Ji-long yang gagah perkasa di sini, jangan hanya seorang Lo Toh saja, umpama sekaligus datang sepuluh, kitapun tak perlu takut."

Sin-su justru menanggapi dengan sikap dingin: "Hari ini tiada giliranku turun tangan.". Pedang yang kontal-kantil di ujung jari kelingkingnya tiba-tiba berhenti, demikian pula gelak tawa Tong Thong-san sirap seketika.

Rahasia Mo-Kau Kaucu (The Flying Eagle in the Ninth Month) - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang