Pisau Kedua

1.8K 29 0
                                    

Orang yang piket dalam Leng-hiang-wan hari ini adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan lebih, agaknya memang tidak begitu pintar, namun jelas tidak bodoh.

"Cayhe NyoKan , terserah Kongcu hendak menikmati kembang atau mau minum arak, atau ingin bermain beberapa hari di sini, silahkan memberi perintah saja." demikian pengurus yang piket memperkenalkan diri serta menyambut kedatangan Pang Lak.

Jawaban Pang Lak pendek, tegas dan langsung: "Kita akan borong seluruh taman ini"

Nyo Kan melengak, merasa amat di luar dugaan, namun dia tetap tersenyum, katanya: "Di sini seluruhnya ada dua puluh satu pekarangan, empat belas bangunan gedung berloteng, tujuh aula, dua puluh delapan kamar kembang, dua ratusan kamar tamu, apa Kongcu ingin memborongnya semua?"

"Begitulah maksudku." ujar Pang Lak.

SekilasNyoKan termenung dan bimbang, katanya: "Berapa banyak orang yang hendak di undang Kongcu?"

"Umpama seorang yang ku undang, tetap akan kuborong seluruhnya."

SeketikaNyoKan unjuk rasa tidak senang, katanya dengan sikap menjadi dingin: "Itu tergantung orang macam apa yang hendak berkunjung kemari."

"Yang akan datang adalah Wi pat-ya."

Tersirap jantungNyoKan , serunya: "Wi pat-ya, Wi-pat-tay-ya dari Po-ting-hu?"

Pang Lak manggut-manggut, hatinya amat puas dan bangga, betapapun ketenarannya dan kebesaran nama Wi pat-ya cukup menggetarkan nyali orang, tak sedikit orang yang mengenalnya.

Mengawasinya, tiba-tiba sorot mataNyoKan mengunjuk senyuman yang licik dan licin, katanya: "PerintahWipat-ya sebetulnya Cayhe tidak berani membangkang, hanya.......barusan datang juga seorang tamu yang berkata hendak memborong seluruh taman ini, malah dia berani membayar tarip tinggi seribu tahil perak seharinya. Cayhe belum berani menerimanya, sekarang jikalau aku menerima permintaan Kongcu, cara bagaimana aku harus memberi pertanggungan jawab kepada orang itu?"

Berkerut alis Pang lak, tanyanya: "Dimana sekarang orang itu?"

NyoKantidak menjawab dengan mulut, namun sorot matanya lewat pundaknya tertuju ke arah jauh di belakangnya. Waktu Pang Lak putar badan, maka dilihatnya seraut wajah yang hijau bersemu putih, seraut wajah yang tidak menunjukkan sedikit perasaanpun.

Seseorang tengah berdiri di belakangnya memojok di kamarsana , badannya mengenakan pakaian serba putih yang terbuat dari kaci tipis, di punggungnya menggendong segulung tikar, tangannya memegang tongkat pendek. Waktu Pang Lak masuk tadi tidak melihat orang ini, kini orang inipun seperti tidak melihat kehadirannya, sepasang biji matanya yang dingin bening sedikitpun tidak menampilkan perasaan apa-apa, seolah-olah menatap ke tempat nan jauh.

Seolah-olah semua manusia, segala urusan dalam dunia ini, tiada satupun yang terpandang dalam matanya, yang diperhatikan agaknya hanya udara kosong di tempat nan jauh dan tidak menentu itu, hanya disana baru dia benar-benar berhasil mendapatkan suatu tempat yang tenang dan tentram.

Hanya sekilas Pang Lak melihatnya, terus putar badan lagi. Dia sudah tahu siapa laki-laki jubah putih ini, maka dia tidak perlu mengawasinya secermat mungkin, diapun tidak ingin bicara sama dia.

Sorot mataNyoKan masih memancarkan tawa hina dan mencemooh. Tiba-tiba Pang Lak berkata: "Kau sedang berdagang, bukan?"

"Memangnya Cayhe berdagang." sahutNyoKan.

"Lalu apa tujuan orang berdagang?."

"Tentunya mencari untung."

"Baik, aku berani membayar seribulima ratus tahil perak sehari, disamping kuberi seribu tahil untuk persenmu sendiri.", demikian Pang Lak main diplomasi. Dia tahu bicara dengan seorang pedagang jauh lebih gampang daripada seorang yang tidak perdulikan mati hidup jiwanya sendiri. Selama bertahun-tahun bekerja bagi Wi-pat-ya, dia sudah berpengalaman untuk cara bagaimana memberi keputusan dan memilih jalan yang terbaik dalam menempuh keberanian kerjanya.

Rahasia Mo-Kau Kaucu (The Flying Eagle in the Ninth Month) - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang