Pisau Ketiga

1.4K 21 0
                                    

Malam gelap. Malam tanpa awan tak berbintang.

Kereta itu berhenti di belakang Leng-hiang-wan bagian gudang rumput, seolah-olah gudang rumput untuk rangsum kuda ini memang dibangun khusus untuk menunggu kedatangan mereka. Sementara kedua gadis kembar itu sudah meringkuk di pojok mendengkur lelap dalam mimpi.

Mengawasi badan sang adik yang sudah kelihatan montok dan padat, tak tahan Sebun Cap-sha menghela napas, katanya: "Malam ini, apa kita istirahat di sini saja?"

Ting Ling manggut-manggut, katanya menengadah: "Kalau sudah tidak tahan, boleh kau anggap mataku picak saja."

Sebun Cap-sha menyengir, katanya: "Aku sih tidak begitu ketagihan, cuma aku heran kenapa hari ini kau kelihatan alim?"

"Malam ini aku punya janji."

"Ada janji? Janji dengan siapa?"

"Sudah tentu janji dengan seorang gadis."

"Bagaimana perawakannya, montok dan cantik?" tanya Sebun Cap-sha.

"Cantiknya luar biasa." sahut Ting Ling sambil tertawa penuh arti.

"Memangnya kau pergi seorang diri? Kau tinggal aku sendirian?"

"Kau mau ikut juga boleh."

"Nah, kan begitu, memangnya aku tahu kau bukan kawan yang kemaruk paras ayu lantas melupakan teman baik."

"Namun perlu kujelaskan lebih dulu, kepergian kami kali ini bukan mustahil takkan kembali dengan nyawa masih hidup."

Tersirap darah Sebun Cap-sha, tanyanya: "Siapakah yang ada janji dengan kau?"

"Jian-bin-koan-im alias Lam-hay-nio-cu"

Sebun Cap-sha melongo.

Dengan ujung matanya Ting Ling meliriknya, katanya: "Kau ingin ikut tidak?"

Jawaban Sebun Cap-sha pendek dan tegas: "Tidak saja." namun tak tertahan dia bertanya: "Benarkah malam ini kau hendak menepati janjinya?"

"Aku sendiri memang sudah tidak sabar ingin melihat orang macam apa sebenarnya Lam-hay-nio-cu yang pernah membalikkan dunia itu?"

"Lalu apa pula yang kau tunggu di sini?"

"Menunggu seseorang."

"Menunggu siapa?"

Tiba-tiba kusir kereta di luar menjentik jari tiga kali. Mata Ting Ling seketika bersinar: "Nah, itu dia datang." katanya.

****

Sebun Cap-sha membuka pintu kereta, maka dilihatnya seorang laki-laki bermantel rumput tengah mendatangi, bertopi rumput lebar pula. Tangannya memegang sebatang galah bambu panjang tiga tombak, setiap kali galah menutul tanah, orangnya lantas melompat lima tombak jauhnya dengan ringan hingga di luar gubuk rumput.

"Bagaimana Ginkang-nya menurut pandanganmu?" tanya Ting Ling.

Sebun Cap-sha tertawa getir, sahutnya: "Orang-orang di sini agaknya memang lihay semua."

Saat mana orang itu sudah mencopot mantel rumputnya, lalu dicantelkan di atas saka, katanya dengan tersenyum: "Aku bukan pamer Ginkang, soalnya aku tidak ingin meninggalkan jejak di permukaan salju."

"Bagus, sikap kerjamu memang teliti." kata Ting Ling.

"Karena aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi." ujar orang itu.

Pelan-pelan dia menghampiri, sembari menanggalkan topi rumputnya. 

Baru sekarang Sebun Cap-sha melihat jelas, laki-laki ini berusia tiga puluhan, di samping mengenakan jubah biru, bagian luarnya memakai pula kain hangat dari kulit rase, tindak-tanduknya mirip seorang pedagang, namun sepasang matanya berkilat, selalu menampilkan senyuman sinis yang licin.

Rahasia Mo-Kau Kaucu (The Flying Eagle in the Ninth Month) - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang