Tapi ke dua ekor kuda yang berjingkrak-jingkrak itu tak mampu melarikan diri, namun masih terus mencak-mencak berdiri turun naik, karena raksasa itu menekan pinggir kereta yang sudah hancur, namun kedua kuda itu sudah tidak mampu melarikan diri.
Walau orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi ribut, namun mereka tidak lari sembunyi. Maklumlah, siapa yang tidak ingin melihat akhir dari keramaian ini. Apapun yang terjadi atas diri mereka nanti, tontonan aneh yang belum pernah terjadi selama ratusan tahun ini adalah setimpal untuk disaksikan.
Semua orang celingukan kian-kemari, mengawasi raksasa yang mampu menekan sebelah tangan ke atas kereta sehingga kedua kuda tidak bergeming, lalu memandang kepada Yap Kay pula. Semua hadirin sudah yakin dan sepakat pendapat, pasti Yap Kay yang akhirnya akan dirugikan dan dihajar konyol. Mungkin cukup menggunakan sebuah jarinya saja, raksasa ini sudah mampu memites gepeng batok kepala Yap Kay.
Tapi Yap Kay malah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba dia malah bertanya: "Berapa tinggimu?"
"Sembilan kaki setengah."
Dalam situasi segenting ini, walau pertanyaan ini kedengaran aneh dan lucu, tapi si raksasa memberi jawaban juga.
"Sembilan kaki setengah, kau memang tidak terhitung pendek." ujar Yap Kay.
Berkata si raksasa dengan sombong sambil angkat dada: "Mungkin hanya beberapa gelintir saja manusia dalam dunia ini yang lebih tinggi dari aku."
"Alat senjata biasanya mengutamakan satu dim lebih panjang, lebih berguna dan lebih kuat. Jikalau kau ini sebatang tombak, pasti kau adalah tombak sakti."
"Aku bukan tombak." seru si raksasa.
"Masih banyak lagi barang-barang lain, biasanya tinggi rendah dari nilai barang itu juga ditentukan dari panjang pendek bentuknya, umpamanya galah yang lebih panjang, sudah tentu harganya lebih mahal, oleh karena itu kalau kau ini sebatang galah, tentu kau inipun cukup berharga," setelah menghela napas Yap Kay menambahkan, "sayang sekali kaupun bukan galah."
"Aku adalah manusia."
"Justru karena kau ini manusia, maka harus dibuat sayang."
"Kenapa harus dibuat sayang?" tanya si raksasa mendelik.
Tawar suara jawaban Yap Kay: "Hanya manusia saja yang tidak ditentukan dari panjang pendeknya. Orang cebolpun kadang-kadang bisa jadi raja. Seseorang bilamana kaki, tangan dan badannya terlalu subur dan tumbuh keliwat batas, biasanya otaknya terlalu sederhana, oleh karena itu manusia yang semakin panjang, ada kalanya malah dipandang rendah dan tidak berharga lagi."
Si raksasa menggerung murka, bagai seekor gajah mengamuk dia menerjang maju. Kelihatannya tidak perlu dia turun tangan kalau Yap Kay keterjang tentu badannya remuk dan mampus. Umpama sebatang pohon besarpun takkan kuat ditumbuk raksasa ini.
Sayang sekali Yap Kay bukan pohon. Sudah tentu raksasa ini tidak akan mampu menerjangnya sampai roboh, tiada orang yang bisa sekali tumbuk menerjangnya sampai jatuh.
Akan tetapi di saat raksasa menerjang tiba, Song Lopan yang tadi kelengar semaput di tanah mencelat bangun segesit tupai dan secepat anak panah melesat maju. Bukan saja gerakannya secepat kilat, cara menyerangnya juga teramat ganas dan lebih menakutkan.
Sekali lagi sayang, dia tidak berhasil merenggut jiwa Yap Kay. Kalau si raksasa menerjang dari depan, sebaliknya Song Lopan menggempur dari belakang dengan pukulan mematikan. Hebat memang kepandaian Yap Kay, di saat-saat gawat itu entah bagaimana tahu-tahu badan Yap Kay sudah mencelat naik ke atas joran.
Takkan ada orang menduga bahwa Song Lopan akan turun tangan, tapi orang lebih tidak menduga lagi bahwa Yap Kay bisa meluputkan diri dari bokongannya. Seperti dihembus angin lesus saja tahu-tahu badannya terangkat naik ke pucuk joran, laksana segulung mega terbang, seperti daun melayang jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Mo-Kau Kaucu (The Flying Eagle in the Ninth Month) - Khu Lung
General FictionLanjutan dari Pisau Terbang Li. Tokoh utamanya murid Si Pisau Terbang Li Sun-hoan yang bernama Yap Kay. Di kolong langit ini hanya dia satu-satunya yang pernah mendapat warisan murni dari Siau-li si pisau terbang. Dia belum pernah membunuh jiwa s...