Di dalam kebun bunga di belakang gedung Ong Wangwe, bunga-bunga sedang mekar indah menyiarkan keharuman yang sedap. Bunga-bunga beraneka warna yang tertiup angin senja bergoyang perlahan-lahan ke kanan-kiri itu bagaikan putri-putri jelita tengah menarikan tari selamat datang menyambut datangnya musim bunga. Kupu-kupu dengan sayap kuning keemasan saling kejar di atas bunga-bunga, sedikutpun tidak menghiraukan atau menakuti suara burung yang bernyanyi merdu di atas pohon-pohon cemara yang mengelilingi taman itu.
Ong Wangwe adalah seoraung hartawan yang baru beberapa bulan pindah ke kota Kam Leng, di mana ia membeli sebuah gedung besar dengan taman bunganya yang indah itu. Orang tidak tahu darimana ia datang dan perdagangan apakah yang diusahakannya, karena semenjak pindah ke Kam Leng, Ong Wangwe tidak berdagang apa-apa.
Ia datang telah merupakan seorang hartawan. Rumah tangganya hanya terdiri dari dia seorang diri, seorang anak perempuannya yang telah berusia kurang lebih delapan belas tahun dan beberapa orang pelayan. Ong Wangwe ternyata adalah seorang duda. Yang mengherankan orang ialah bahwa kadangkala datang beberapa orang tamu di rumah wartawan itu. Hal ini sebenarnya tak perlu diherankan kalau saja tamu-tamu itu tidak menarik perhatian orang dengan keadaan mereka. Hampir semua paratamu itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, sedangkan ditubuh mereka selalu tergantung senjata tajam. Jelas terlihat bahwa mereka adalah ahli-ahli silat.
Barulah penduduk Kam Leng tahu lebih banyak akan keadaan Ong Wangwe ketika sebulan yang lalu terjadi hal yang cukup mengherankan dan yang membuka rahasia hartawan itu. Pada waktu itu, entah dari mana datangnya, seorang saykong berjubah lebar dengan kepala licin gundul mengacau kota Kam Leng. Saykong itu membawa sebuah gentung arak dari besi yang tingginya tiga kaki lebih! Ia berjalan dari rumah ke rumah untuk meminta derma, tapi permintaannya itu berbeda dengan kebiasaan para pendeta yang minta derma secara sukarela. Ia tetapkan bahwa orang harus mnderma padanya setengah tail perak! Ia letakkan guci besar itu di pintu, dan takkan mengangkatnya sebelum tuan rumah memberiya derma setengah tail. Ada beberapa orang yang mencoba untuk mengusirnya, tapi tak seorangpun dapat mengangkat dan menyingkirkan guci besar itu. Jangankan mengangkat, bahkan menggerakkan saja tak seorangpun mampu lakukan. Guci besi itu demikian berat hingga untuk mengangkatnya sedikitnya dibutuhkan tenaga sepuluh orang.
Demikianlah, terpaksa orang memberi derma seperti yang dimintanya karena orang tak berani melawan saykong yang tampak kuat dan kejam itu. Kepala kampung telah diberi laporan dan dengan ramah dan manis kepala kampung minta agar saykong itu tidak mengganggu penduduk Kam Leng dan sudi menerima uang derma secara sukarela.
"Aku pungut derma untuk membangun kelenteng, bukan untukku sendiri. Pula aku bukanlah pengemis, maka tak sudi aku menerima kurang dari setengah tail!" jawab saykong itu dengan menyeringai kurang ajar.
Mendengar jawaban itu kepala kampung menjadi marah. Penjaga keamanan kota yang ikut datang dengan kepala kampung lebih marah lagi. Ia diajak empat orang kawannya menghampiri saykong itu.
"Pendeta palsu, pergilah kau dari kota ini dan jangan ganggu kami!" katanya.
"Kalau aku tidak mau pergi, kalian mau apa?" jawab saykong.
"Jangan menyesal kalau kami gunakan kekerasan!"
"Kamu mau apa?" saykong itu berkata dengan sikap menantang.
"Twako, pukul saja anjing gundul ini!" teriak seorang kepada kepala penjaga. Lima orang itu lalu ayun tangan mereka ke arah tubuh saykong itu dan segera terdengar suara "bak! bak! bak! bak!" ketika tangan mereka memukul tubuh saykong yang gemuk berdaging itu. Tapi suara pukulan itu segera disusul suara teriak kesakitan dan kelima orang itu membungkuk sambil pegang-pegang tangan yang dipakai memukul. Ternyata tangan mereka pada bengkak seperti juga barusan mereka bukan memukul tubuh orang tapi memukul besi yang keras!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Wanita Baju Putih (Pek I Lihiap) - ASKPH
General Fiction"Ha, Pek I Lihiap datang lagi. Apakah kau rindu padaku?" pahlawan itu gunakan kesempatan untuk menghina Giok Cu karena hatinya masih sakit karena sabetan dulu. "Saudara-saudara! Kalau memang kalian tidak mencari permusuhan, pergilah jangan ganggu ka...