Bab. 8

698 23 0
                                    

"Itulah Kwan-in-bio ke mana kita menuju. Liok An menunjuk dengan jarinya untuk memberitahu Giok Cu. Setelah berkata demikian mereka percepat larinya kuda hingga tak lama lagi sampailah mereka di depan bio atau kelenteng itu.

Di depan kelenteng telah menanti belasan orang, dan kuda-kuda mereka ditambatkan pada pohon-pohon cemara di sebelah kiri bio. Belasan orang itu rata-rata bertubuh gagah dan pakaian mereka menyatakan bahwa mereka terdiri dari para piauwsu, yakti penjaga atau pengawal kiriman barang-barang berharga, jadi semacam usaha ekspedisi. Di pinggang mereka tergantung pedang atau golok. Tiga buah lampu teng dan lima buah obor menerangi tempat itu. Giok Cu mengerling tajam dengan penuh perhatian. Rombongan piawsu itu dikepalai oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi dengan muka kuning yang pada saat itu memandang dengan sikap garang dan gagah.

"Itulah dia Oey-bin-hauw Thio Kiat si Harimau muka kuning." Liok An berbisik kepada Giok Cu yang berada di sampingnya. Ia adalah ketua rombongan itu.

Si Harimau muka kuning maju tiga langkah dan menjura kepada Liok An yang sudah turun dari kudanya. "Nyata sekali. Kiciu Sam-eng pegang janji, kami rombongan piauwsu dari Kunlim merasa girang sekali.

Liok An si gemuk pendek mewakili rombongannya membalas hormat dan berkta dengan senyum dingin: "Thio Piauwsu dan rombongan sudah lama menanti? Baik sekali! Thio Piawsu membawa rombongan yang jauh lebih besar daripada rombongan kami sudah tahukah peraturan pibu (adu silat) di bukit ini?"

Oey-bin hauw Thio Kiat tertawa mengejek. Tak perlu takut, tak usah cemas, kami bukanlah golongan pengecut yang mengandalkan banyak orang untuk menghina orang lain. Kalau kami tidak salah dengar, peraturan pibu di sini ialah mengajukan Jago dengan jumlah yang sama untuk dicoba kepandainnya menurut tingkat masing-masing. Kulihat cuwi datang dengan delapan orang. Baiklah kamipun akan majukan delapan orang saja untuk mengukur tenaga dan kepandaian cuwi."

"Jangan salah lihat, Thio Piauwsy," kata Liok An sambil mengerling ke arah Giok Cu. "Li-enghiong yang berada di sini bukanlah termasuk anggota rombongan kami, tapi hanya sebagai tamu terhormat kami yang sengaja datang untuk menonton atau boleh juga dianggap sebagai saksi!" Liok An orangnya memang cerdik, ia maklum bahwa nona itu tentu lihai, maka ia sengaja beri kedudukan saksi kepada Giok Cu agar kalau dipihak lawan ada yang berlaku curang, Pek I Lihiap akan tersinggung dan turun tangan.

Thio Kiat perlihatkan sikap tak senang dan memandang ke arah Giok Cu dengan menghina. "Tak percayakah cuwi kepada kami hingga mesti membawa saksi segala? Tapi biarlah kami tak menaruh keberatan. Nah, marilah kita mulai saja. Harap majukan jago nomor tujuh!"

Setelah berunding dengan kedua saudaranya, Liok An lalu majukan seorang pemuda yang bertubuh kuat. Dari pihak lawan maju seorang piauwsu berusia kira-kira lima puluh tahun.

Semua orang mengelilingi tempat pibu yang diterangi sinar lampu dan obor itu. Keadaan tegang, semua orang diam tak bersuara bagaikan orang-orang yang menonton dua ekor ayam jago berkelahi. Menurut peraturan yang diadakan oleh Bu-eng-cu yang mereka segani, pibu ini tidak boleh gunakan senjata tajam jadi kedua jago itu maju dengan tangan kosong. Senjata-senjata yang mereka bawa itu hanya untuk menambah keangkeran dan untuk menjaga kalau-kalau pihak lawan berlaku curang.

Jika dilihat sepintas lalu, yang sedang berkelahi bukanlah lawan yang seimbang karena yang seorang pemuda kuat dan yang lain hanya seorang kakek kurus. Tapi setelah mereka mulai bergerak saling serang, mudahlah dilihat bahwa pemuda itu jauh kalah lihai. Gerakan kakek itu gesit dan ilmu silatnya tinggi. Si pemuda hanya mengandalkan tubuh yang kuat dan ketabahan besar. Beberapa kali tubuhnya yang kebal itu dapat menahan pukulan kakek itu, tapi ketika pada jurus ketiga puluh kakek itu menyerang dengan tipu Hek-hauw-to-sim atau Macan-hitam-sambar-hati, pemuda itu tak sempat berkelit dan sodokan keras dari si kakek mampir di lambungnya hingga ia terpelanting roboh dan muntahkan darah! Pertandingan jago ketujuh ini dimenangkan oleh pihak piauwsu. Kawanan piauwsu menyambut kemenangan kawan mereka dengan tepik sorak gembira, sedangkan pihak jago-jago Kiciu dengan wajah muram menggotong jagoan mereka yang pingsan.

Kawan-kawan Liok An tebus kekalahan mereka dengan beruntun dua kali mengadakan pertandingan keenam dan kelima, tapi pertandingan keempat dimenangkan oleh pihak piauwsu. Dengan demikian keadaan masih dua lawan dua atau seri.

Jago ketiga dari pihak Kiciu keluarkan Liok Kay si tinggi kurus, yakni Kiciu-sam-eng yang ketiga, Giok Cu pernah merasai kelihaian sambitan piauw Liok Kay dan tahu bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang lumayan juga. Gadis ini dengan penuh perhatian melihat ke arah rombongan piauwsu karena ingin sekali tahu bagaimana macam lawan Liok Kay. Diam-diam gadis ini di dalam hati mulai berpihak kepada orang-orang Kiciu ini karena menurut pandangannya mereka lebih sopan dan beraturan, beda dengan rombongan piauwsu dari Kunlim yang tampak sombong dan bahkan ketuanya memandang rendah dirinya.

Dari pihak piauwsu loncat keluar seorang kurus kering yang bermuka hitam. Melihat gerakan dan jari-jari orang yang bagaikan kuku garuda itu, terkejut dan cemaslah hati Giok Cu. Buru-buru ia dekati Liok Kay yang belum loncat ke lapangan dan berbisik.

"Awas, dia agaknya ahli Hek-ko-chiu! Liok Kay memandang ke arah tangan lawannya dan ia mengangguk maklum. Ia cukup tahu akan kelihaian hek-ko-chiu, yaitu ilmu keraskan tangan yang menjadi sekeras baja dan pukulan atau totokan jari-jari tangan demikian itu dapat mematahkan tulang, memutuskan urat!

Benar saja setelah mereka mulai bergerak, si muka hitam lalu maju menyerang dengan hebat sambil gunakan ilmu hurkin-cob-kut yakni semacam ilmu pukulan yang lihai sekali. Liok Kay memperlihatkan kelihaiannya, ia tidak mau kalah dan setelah berkelit lalu balas menyerang. Diam-diam Giok Cu kagum karena ia tak sangka bahwa Liok Kay pandai ilmu pukulan Houw jiauw kang atau pukulan kuku harimau. Ini memang merupakan ilmu yang tepat untuk melawan bek-ko-chiu karena kalau bek-ko-chiu mematahkan tulang memutuskan urat, adalah hiauw jiauw kang tak kurang hebatnya. Jari-jari yang dipakai menyerang kalau sampai dapat menangkap kulit lawan, pasti kulit berikut dagingnya akan tersobek dan hancur!

Demikianlah kedua orang itu bertempur sampai hampir seratus jurus tanpa ada yang kelihatan kalah. Pada suatu saat, ketika dengan nekad dan mati-matian, si muka hitam ulurkan kedua tangan hendak menghantam patah tulang pundak Liok Kay si kurus tinggi ini merasa terkejut sekali karena serangan itu dilancarkan ketika keadaannya sedang terbuka dan kakinya baru saja turun dari loncatan hingga tak mungkin agaknya baginya untuk berkelit. Apa boleh buat, pikirnya. Ia lalu gerakkan kedua tangannya ke arah perut lawan dengan jari-jari mencengkeram!

Dua-duanya melancarkan serangan hebat, tapi kalau Liok Kay hanya terancam patah tulang pundak, adalah lawannya terancam bahaya maut! Si muka hitam agaknya memaklumi hal ini maka tentu saja ia tidak sudi menukar pukulan yang merugikannya itu. Ia tarik kedua tangannya dan sambil tarik tubuhnya ke belakang ia merendah. Gerakannya ini betul saja dapat hindarkan kulit perutnya dari tersobek dan terbuka, tapi tak urung bajunya tertangkap oleh jari-jari Liok Kay dan sambil memperdengarkan suara keras baju itu robek dan hancur berpotong-potong dalam tangan Liok Kay. Dengan muka merah karena malu, si muka hitam loncat mundur sambil menjura tanda kalah.

Kawan-kawan Liok Kay, biarpun yang telah mendapat luka, bersorak girang bahkan Giok Cu tanpa disengajapun ikut bersorak pula! Thio Kiat ketua piauwsu yang sudah merasa panas hati melihat kawannya kalah, makin panas melihat Giok Cu ikut bersorak, maka sambil tersenyum ia menyindir dan berkata kepada Liok An: "Hm, hm, saksi kita agaknya berat sebelah. Agaknya lebih baik kalau dia ikut maju."

Giok Cu terpaksa duduk kembali. Dari pihak Kiciu keluarlah Liok Wan yang bertubuh tinggi besar dan bertenaga besar pula. Untuk mendemonstrasikan tenaganya, ia buka bajunya dan gerak-gerakkan kedua lengannya hingga terdengar bunyi berkerokotan dan urat-urat tubuhnya bermain bagaikan dalam tubuh itu terdapat beberapa ekor tikus bergerak ke sana kemari!

Dari pihak piauwsu, keluarlah seorang kate yang memandang gerak gerik lawannya dengan tertawa haha hihi dan sikap tak acuh, Giok Cu melihat Liok Wan merasa kecewa karena orang yang masih dapat berlagak macam itu tentu tak berapa tinggi kepandaiannya. Sebaliknya ketika melihat orang kate itu, hatinya berdebar. Jelas tampak olehnya telapak tangan yang kemerah-merahan dari si kate hingga diam-diam ia mengeluh dan berbisik kepada Liok An yang berada di sampingnya: "Celaka, orang itu tentu ahli Ang see chiu!" Liok An juga kaget dan menyesalkan sikap adiknya yang sembrono dan sombong. Ia tahu akan kehebatan ilmu Ang-see-chiu atau tangan pasir merah ini. Tapi untuk tenangkan hati ia berkata: "Liok An mampu hadapi dia."

Setelah mereka mulai saling serang, hati Giok Cu agak lapang karena ternyata biarpun sikapnya bodoh dan banyak lagak, ternyata Liok Wan cukup lumayan ilmu silatnya. Liok Wan bersilat dengan Lo-han-kunhwat dari Siauwlimpiy dan tiap pukulannya disertai tenaga chian-kin-lat atau tenaga seribu hati. Hal ini membuat lawannya merasa sibuk juga dan tidak sempat gunakan ang-see-chiu yang diandalkannya, ia harus kerahkan semua perhatian untuk melayani serangan Liok Wan yang tak boleh dipandang ringan. Tapi diam-diam ia kumpulkan semangat dan warna merah di telapak tangannya menjalar ke atas perlahan. Hal ini diketahui baik oleh Giok Cu yang merasa khawatir karena ia melihat betapa Liok Wan tersenyum-senyum dan merasa diri di atas angin lalu hendak mempermainkan lawannya! Memang keadaan si kate terdesak sekali, loncat ke sana kemari, lari memutar dan sibuk hindarkan serangan-serangan Liok Wan yang sebaliknya tidak berusaha menjatuhkan lawan secepatnya tapi hendak mempermainkannya seperti kucing mempermainkan tikus.

Kecemasan yang diderita oleh Giok Cu berujud dan terjadi dengan tiba-tiba. Setelah merasa bahwa tenaga tangan pasir merah sudah berkumpul sepenuhnya di lengan, si kate tiba-tiba menanti datangnya pukulan Liok Wan, dengan tabah dan ketika kepalan Liok Wan menyambar kepalanya, ia angkat lengan menangkis ke arah pergelangan tangan si tinggi besar itu! Dua batang lengan beradu dan Liok Wan menjerit ngeri lalu terhuyung ke belakang, kemudian roboh tak ingat orang. Si kate yang masih penasaran maju hendak memberi pukulan maut, tapi pada saat itu tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan si kate merasa betapa sesuatu yang lunak menyambar tangannya hingga pukulannya meleset! Dengan heran dan penasaran ia melihat gadis cantik yang menjadi saksi mereka berdiri di depannya sambil tersenyum dan berkata:

"Eh, tuan kate, jangan kau langgar peraturan!" Si kate mendengar ini menjadi sangat malu dan melangkah mundur.

Pendekar Wanita Baju Putih (Pek I Lihiap) - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang