Bab. 10

674 18 0
                                    

Giok Cu menyindir. "Baiklah, kau larilah dan bawalah si kate ini pergi dari sini pula. Tentang mampir ke Kwie-san, kalau kebetulan aku lewat, tentu aku akan lihat-lihat gunungmu itu!"

Gau Tin-cu menyeret kaki kanannya dan dengan bantuan Ban Kim ia naik ke punggung kuda si kate, hingga kini saykong itulah yang naik kuda sedangkan Ban Kim menuntun kuda sambil berjalan perlahan. Mereka pergi sambil bersungut-sungut diikuti gelak tawa Giok Cu.

Setelah mereka pergi jauh, Giok Cu berpaling sambil berteriak memanggil: "In kong (tuan penolong), keluarlah agar aku dapat menghaturkan terima kasihku!" Ia memanggil berkali-kali dengan mengharap munculnya Thian In yang diharap-harapnya, tapi tak seorangpun menjawab. Tiba-tiba dari tempat jauh ia mendengar suara nyanyian:

Pedang di tangan kiri
Pit dan kertas di tangan kanan
Menjelajah rimba raya
Menurun jurang mendaki gunung....

Giok Cu mendengarkan lagu itu dengan bengong dan sekali lagi tak terasa air matanya jatuh turun menitik di sepanjang kedua pipinya. 

Mengapa Koay-hiap tidak mau bertemu dengannya. Bukankah Koay-hiap ini Souw Thian In? Apakah Thian In masih menaruh dendam dalam hati karena urusan ibunya, karena urusan ibu mereka yang bermusuhan? Ah, nasib....dan sekali lagi dalam hati Giok Cu merasa hatinya hancur hingga tak terasa pula ia menghampiri kudanya lalu sadarkan kepalanya di leher kuda.

Kedua tangannya merangkul leher itu dan ia menangis terisak-isak! Kudanya agaknya mengerti akan kesedihan nona penunggangnya, beberapa kali kuda itu palingkan mukanya dan dengan lidahnya ia menjilat tangan Giok Cu sambil perdengarkan suara rintihan perlahan.

Setelah puas menangis, Giok Cu naiki kudanya dan jalankan kudanya perlahan. Hari telah sore ketika akhirnya ia keluar dari hutan yang panjang itu. Melihat udara luar agak legalah hatinya dan pikirannya tak segelap tadi. Ia pun merasa sangat lapar dan teringat bahwa semenjak pagi tadi ia belum makan apa-apa.

"Hayo kudaku yang baik, kita cari makanan!" katanya kepada kudanya sambil keprak kuda itu. Dengan cepat empat kaki kuda itu bergerak dan membalap hingga Giok Cu mendengar angin bersiutan di pinggir kedua teliganya.

Tak lama kemudian ia melihat sebuah kelenteng tua di pinggir jalan. Bau asap masakan yang sedap membuat perutnya makin terasa lapar dan terpaksa ia belokkan kudanya ke halaman kelenteng itu karena tak dapat menahan lapar lebih lama lagi. Ia ikatkan kendali kuda di pohon dan mengetuk pintu.

Di luar dugaannya, yang membuka pintu kelenteng bukanlah seorang hwesio atau niko, sama sekali bukan golongan pendeta, tapi ia adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berewokan.

"Aku hendak bertemu dengan pendeta kelenteng ini," kata Giok Cu ragu-ragu. Orang itu memandang tajam lalu tertawa.

"Bukankah nona hendak mencari makanan?"

Giok Cu terkejut dan bercuriga.

"Nona jangan curiga atau cemas. Aku dengan tiga orang saudaraku juga tamu. Kelenteng ini kosong tidak ada penghuninya. Kami berempatpun merasa lapar dan berhenti di sini untuk masak makanan. Kalau nona sudi, silahkan makan bersama kami."

Giok Cu hendak menolak, tapi perutnya tak tertahan lagi laparnya. Orang itu tahu akan keragu-raguannya, maka sambil tersenyum dan mengerling ke arah pedang di pinggang Giok Cu, ia berkata pula: "Nona, tak usah khawatir, aku lihat nona membawa-bawa po-kiam, tentu nona ahli silat, jadi kita masih segolongan. Kamipun penjual silat dan obat yang berkeliling."

Maka tenanglah hati Giok Cu. Ia menjura dan berkata: "Maaf kalau aku mengganggu, dan jika tuan sudi menolong, aku haturkan banyak terima kasih."

Orang berewokan itu mengucapkan kata-kata merendah lalu ia persilahkan gadis itu memasuki ruangan belakang. Benar saja di ruangan itu terdapat tiga orang laki-laki lain yang duduk mengelilingi meja sambil menghadapi empat macam masakan daging rusa yang masih mengepulkan uap dan berbau sedap. Tiga orang itu heran sekali melihat saudara mereka membawa seorang gadis cantik, tapi setelah diberitahukan bahwa gadis itu adalah seorang tamu yang hendak sama-sama makan, mereka dengan ramah mempersilahkan Giok Cu ambil tempat duduk. Gadis itu merasa berterima kasih sekali. Dengan segera mereka mulai makan.

Setelah habiskan semangkok daging rusa, Giok Cu merasa laparnya berkurang dan kegembiraannya kembali serta kecurigaannya lenyap. Ia perhatikan keempat orang itu yang tampaknya bertubuh kuat dan bersikap gagah.

Pendekar Wanita Baju Putih (Pek I Lihiap) - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang