Bab. 9

642 19 0
                                    

Maka berkumpullah kedua rombongan itu mengelilingi Pek I Lihiap yang memandang mereka dengan wajah sungguh-sungguh.

"Cuwi, biarpun aku belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan Koay-jin yang kalian segani itu, namun kurasa ia benar-benar seorang koayhiap yang cinta perdamaian. Memang di antara golongan sendiri mengapa mesti terbit permusuhan yang hanya mendatangkan perpecahan dan kerugian? Sebetulnya, apakah pokok persoalan yang mendatangkan pertikaian di antar kedua golongan ini?"

Liok An menghela napas. "Untung kau datang, Lihiap. Kami tak sangka bahwa kaulah yang akan mendamaikan kami. Sebetulnya, yang menjadi sebab ialah bahwa kami mempunyai peraturan bahwa yang menentukan kepada setiap rombongan piauwkiok yang lewat daerah ini untuk memberi sumbangan sebanyak lima ratus tail perak dengan jaminan takkanada yang berani mengganggu. Dan pihak Thio Piauwsu sama sekali menolak sumbangan ini dan menghendaki dihapuskannya sama sekali peraturan ini."

"Benarkah bahwa Thio Piauwsu sama sekali tidak mau mengeluarkan uang sumbangan?" tanya Giok Cu kepada Thio Kiat.

"Bukannya kami sama sekali tidak mau menyerahkan uang sumbangan, tapi jumlah yang ditetapkan itu terlampau besar dan terasa berat bagi kami."

"Jadi pada hakekatnya Thio Piauwsu mau memberi sumbangan?"

"Asalkan jumlahnya jangan terlalu besar," jawabnya.

Kemudian Giok Cu bertanya kepada Liok An. "Dan, apakah jumlah sumbangan yang terdapat dalam peraturan itu tak dapat dirobah sedikitpun?"

Merah wajah Liok An. "Bagi kami sih tidak berani menetapkan, tapi jumlah itu telah ditetapkan oleh Koay-hiap, kami hanya melanjutkan saja."

"Aku harap cuwi suka saling mengalah. Memang pemungutan sumbangan itu adil juga, karena hendaknya Thio Piauwsu ingat bahwa para hohan di Kiciu menjamin keamanan barang-barangmu yang lewat, dan untuk itu harus disediakan uang guna membiayai mereka yang menjaga. Pula, di Kiciu diadakan usaha untuk menarik golongan rimba hijau (perampok) dan mengembalikan ke jalan benar dengan memberi pekerjaan sebagai penjaga keamanan. Tentu saja untuk biaya usaha ini harus ada sumbangan dari para dermawan dari para piauwsu yang lewat di daerah itu. Tapi sebaliknya, Liok enghiong yang mengepalai usaha itupun hendaknya memungut sumbangan dengan suka rela, tidak baik kalau ditetapkan jumlahnya hingga sifatnya seakan-akan paksaan!"

Baik Thio Kiat maupun Liok An mendengarkan uraian adil itu dengan tunduk. Mereka diam-diam merasa kagum kepada gadis muda belia ini yang ternyata mempunyai pandangan-pandangan luas dan pikiran sehat.

"Nah, sekarang aku mohon diri. Harapan saja jiwi suka ambil jalan tengah dan menyelesaikan urusan ini dengan damai. Dan bila Koay-hiap datang, tolong sampaikan hormatku dan kagumku padanya."

Setelah berkata demikian, Giok Cu menjura memberi hormat kepada semua orang, lalu ia cemplak kudanya pergi dari situ, diikuti pandangan mata kedua rombongan itu.

Giok Cu kembali ke hotelnya dan tidur. Pada keesokan harinya ia tinggalkan hotel setelah terpaksa menerima kiriman beberapa potong emas untuk bekal dari Liok An. Karena tidak mempunyai tujuan tertentu Giok Cu larikan kudanya menurut jalan besar. Setelah keluar dari kota, ia kaburkan kudanya. Mengingat perbuatannya semalam, hatinya menjadi gembira dan ia kaburkan kuda sambil tersenyum-senyum seorang diri. Matahari telah naik agak tinggi, memuntahkan cahaya kuning keemasan di permukaan sawah ladang. Kaum tani yang berangkat ke sawah dengan cangkul dipundak berjalan dengan paras berseri, sedangkan beberapa orang anak-anak menggiring kerbau dengan bersendau riang. Burung-burung pagi berkicau ramai di sepanjang jalan di mana ditumbuhi pohon-pohon yang rindang daunnya.

Giok Cu perlambat jalan kudanya ketika melewati para kaum tani yang memandangnya dengan heran. Memang agak mengherankan dan jarang terjadi seorang gadis cantik dan muda berkuda seorang diri di pagi hari lewat jalan itu. Apapula ketika mereka melihat gagang pedang yang tergantung di pinggang Giok Cu, mereka makin heran dan kagum.

Tiba-tiba Giok Cu mendengar tiupan suling. Ia menghentikan kudanya dan mendengarkan. Suling itu ditiup oleh seorang anak laki-laki berusia paling banyak empat belas tahun. Tiupannya bagus dan nyaring sedangkan lagunya bersemangat. Karena anak itu duduk di punggung kerbaunya dan berada di depan Giok Cu, maka dia tidak melihat ada seorang gadis sedang memandangnya dari belakang. Kerbaunya berjalan malas-malasan sambil ulurkan kepala ke bawah untuk makan rumput di kiri kanannya.

Pendekar Wanita Baju Putih (Pek I Lihiap) - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang