Bab. 13

750 21 0
                                    

Giok Cu balas memberi hormat. "Thio kongcu, maaf aku tidak kenali kau karena baru mendengar nama saja, baru kali ini melihat rupa. Aku kenal baik dengan kedua orang tuamu, Thio kongcu.

Wajah pemuda itu berseri. "Ah, bagaimana keadaan mereka, nona? Mereka baik saja dan mengharap-harap kedatanganmu."

"Kau sungguh mulia, nona. Terima kasih atas berita yang kau sampaikan ini. Tapi...tapi agaknya nona mempunyai kepentingan dengan siautee hingga sampai mencegat di sini."

"Sebenarnya, aku hendak memperingatkan kau supaya berhati-hati karena ada beberapa orang hendak menangkapmu!" Giok Cu menduga bahwa pemuda itu akan terkejut dan ketakutan, tapi ia kecele. Thio Seng sama sekali tidak memperlihatkan muka terkejut, apa lagi takut. Tidak demikian dengan kedua kawannya yang juga adalah pemuda-pemuda pelajar sastra, mereka ini menjadi pucat dan jelas menunjukkan muka takut.

Tiba-tiba Thian In pegang lengan Thio Seng dan berkata: "Mereka benar-benar tidak mencegat kita, tapi jangan takut, ada aku di sini. Apa pula sekarang ada Pek I Lihiap beserta kita, takut apakah kita?"

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Thian In sengaja jalankan kuda di belakang bersama Giok Cu. Setelah berada di belakang berdua dengan gadis itu, wajah Thian In tampak bersungguh-sungguh.

"Nona Ong, sebenarnya siapakah orang-orang yang hendak menangkap Thio-kongcu? Ada berapa orang dan mereka orang-orang apa?"

"Katanya kau tidak takut! Untuk apa tanya-tanya pula?" jawab Giok Cu sambil mengerling tajam dan mulut tersenyum mengejek.

"Di depan Thio kongcu tidak perlu kita bicara tentang bahaya."

"Tapi ia tampaknya tak setakut engkau!"

Thian In menghela napas. "Memang ia orang luar biasa. Biarpun tubuhnya lemah, tapi hati dan semangatnya lebih kuat dan tabah daripada kita. Karena itu harus kita lindungi dia."

"Eh, dia itu orang apakah maka agaknya demikian penting? Aku lihat orang-orang yang hendak menangkapnya juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka berjumlah sembilan orang dan semuanya memiliki ilmu silat yang tidak rendah, terutama pendeta itu!"

"Biarlah aku tidak takut. Apalagi ada kau yang membantu."

"Engkoh Thian In sebenarnya orang penting macam apakah pemuda sastrawan lemah itu?" tanya Giok Cu sambil menunjuk dengan gagang cambuk kudanya ke arah punggung Thio Seng, dan bagaimana kau bisa bersama-sama dengan dia?"

"Biarlah kuceritakan riwayatnya yang kudengar dari suhu, dan tentang pertemuanku dengan dia agar kita tidak kesepian melalui hutan ini," kata Thian In yang selalu bercerita.

Seperti telah diketahui, Thio Seng atau yang biasa disebut Siauw Seng oleh ayah ibunya, adalah putera tunggal dari Thio tihu yang tinggal di kota Anting. Semenjak kecilnya, Thio Seng sangat pintar dan maju sekali dalam pelajaran membaca dan menulis hingga setelah ia agak besar, ayahnya mengirimnya ke kota raja di mana tinggal pamannya yang menjadi congtok. 

Thio Seng terus mempelajari ilmu kesusasteraan dan ketatanegaraan dengan tekun dan rajin ketika ia menempuh ujian koota raja, ia lulus dengan hasil baik. Tapi dalam dada pemuda ini menyala semangat cinta bangsa yang besar sekali hingga ia segera merasa penasaran dan menyesal melihat ketidak adilan pemerintah Cen-tiauw di masa itu. 

Ia anggap bahwa pemerintah asing dan bangsa Boan mengisap rakyat yang miskin. Ia bersedih betapa orang-orang gagah bangsa Han yang memiliki kepandaian digunakan oleh pemerintah asing itu untuk menindas rakyat lemah, betapa orang-orang gagah terpecah belah dan bahkan saling bermusuhan. Terdorong oleh rasa penasaran, kemarahan dan kesedihan ini ia menulis sebuah karangan yang isinya mencela pemerintah Boan dan menyerukan kepada semua rakyat jelata agar bersatu padu, saling tolong dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk.

Pendekar Wanita Baju Putih (Pek I Lihiap) - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang