Suami Sahabat

8.9K 633 0
                                    


Rembulan

Di depan komputer aku mengotak-atik laman situs rumahimpiankita.com. Kufokuskan pada laman pribadiku.

Kusimak satu persatu pertanyaan mereka yang tertarik. Kukirimkan pesan jawaban dari pertanyaan mereka.

Namaku Rembulan Sahaja. Biasa dipanggil Bulan. Aku bekerja sebagai property consultant di Rumah Impian, divisi agen properti.

Untuk diketahui, Rumah Impian punya dua divisi bisnis. Media properti dan agen properti. Setahun belakang aku telah bergabung di perusahaan ini.

Tugasku ada tiga.

Satu, menjalin kerjasama dengan pengembang supaya mendapat kuota untuk memasarkan unit yang mereka tawarkan.

Dua, mempromosikannya melalui laman situs rumahimpiankita.com.

Tiga, menjual unit-unit properti itu dan menghasilkan uang untuk perusahaan.

Sebagai in-house agent cara kerjaku beda dengan independent agent. Aku kerja ada target. Setiap bulan harus kasih laporan berapa unit yang berhasil kujual. Orang finance akan menindaklanjuti laporanku dengan mengirimkan invoice pada perusahaan pengembang.

Pengembang wajib membayar 5 -10 persen komisi, tergantung perjanjian, dari harga jual unit setelah proses akad kredit tuntas, kepada perusahaan tempat aku kerja.

Aku baru akan mendapat komisi jika target penjualanku memenuhi syarat minimal 80 persen dari yang sudah ditentukan.

Beda dengan agen lepas yang bisa dapat komisi langsung dari pengembang setelah pembeli selesai proses akad kredit.

Rugi?

Tidak juga.

Ada plus-minus-nya.

Plusnya, disini statusku karyawan tetap. Punya gaji bulanan beserta berbagai tunjangannya. Sebut saja, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan saat bekerja, tunjangan transport, hingga tunjangan pulsa. Belum lagi komisi bila target tercapai, THR, dan bonus tahunan.

Atas pertimbangan kepastian penghasilan itulah aku akhirnya memilih terikat kerja disini ketimbang jadi agen lepas.

"Bulan, bisa ke ruangan saya bentar?" kata Pak Rio, bosku.

Aku mengangguk.

Segera berdiri mengikutinya. Masuk ke ruangan bercat biru muda.

"Duduk," kata lelaki yang baru menyandang status ayah itu. Istrinya, Cahaya, orang media yang juga kerja di perusahaan ini sudah melahirkan anak lelaki pertama mereka beberapa bulan lalu.

"Gimana penjualan unit-unit properti kamu?" tanyanya membuka percakapan setelah aku duduk.

"Tiga hari lalu klien saya baru selesai proses akad kredit. Itu yang ke dua di bulan ini," ungkapku.

Rio mengangguk.

"Bulan...kamu kenal Rama Aryono?"

Mas Rama? Suaminya Rani? Tentu saja.

Aku mengangguk.

"Kenal. Beliau suami sahabat saya. Ada apa ya?"

"Gak. Dia kakak sepupu saya. Orang media juga. Pemred BaMe. Punya shared juga disini. Gak banyak sih. Anyway... kemarin ada pertemuan antar pemred se-Jakarta. Kita ketemuan trus ngobrol deh tuh..."

"Dia cerita mau jual rumah orangtuanya yang di Fatmawati. Setuju menunjuk kita sebagai agen propertinya. Eksklusif. Syaratnya, kamu yang jual..."

Oh.

Aku dan Rani sudah jarang berkomunikasi lagi. Setidaknya setahun terakhir ini. Kita semakin fokus dengan urusan sendiri. Jadi tidak tahu lagi perkembangan dia sekarang.

Terakhir komunikasi, itu waktu awal aku gabung perusahaan ini. Rupanya Rani masih ingat.

"Kamu tahu nomor HP Pak Rama?"

Aku menggeleng.

"Saya tahunya nomor istrinya."

Pak Rio mengangguk.

"Ini kartu namanya. Kontak dia. Bikin appointment. Segera bikin MOU-nya. Jadi pas ketemuan bisa langsung teken kontrak," perintahnya.

Aku mengangguk lalu mengamininya.

***

"Bulan."

Terperanjat, setengah loncat aku mundur selangkah.

"Masya Allah. Sorry. Aku gak maksud ngagetin," kata Rido yang berdiri di depan menyamping dari tempatku berdiri setelah ke luar dari ruangan Pak Rio.

Aku mengangguk. Masih merasa kaget.

"Iya. Gak papa, kok. Sorry. Aku kagetan orangnya, " kataku. Tangan kananku di dada kiri atas. Tangan kiri melingkari perut. Mundur satu langkah.

Naluriku ingin melindungi diri.

Ridho melihat. Matanya membaca gesturku. Seperti yang sudah-sudah. Perlahan dia menggelengkan kepalanya.

"Aku cuma mau bilang. Kemarin baru ketemu calon klien. Pengembang baru. Coba deketin. Siapa tahu mau kerjasama kamu. Sedikit aku dah omongin soal divisi kamu sih. Katanya mereka terbuka untuk kerjasama," terangnya.

Aku mengangguk.

"Iya. Terima kasih ya."

Dia mengangguk.

"Nih kartu namanya."

Aku meraih kartu nama yang Ridho sodorkan.

"Aku copy bentaran yah," kataku setelah memegang kartu nama itu. Lalu segera beranjak pergi meninggalkanya.

Memahami Rembulan #3 Undeniable Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang