RidhoSenin. Jam makan siang. Aku duduk bersebrangan Bulan, di sofa empuk model U-shape di salah satu pojok Nat's Deli & Coffee yang terletak di lobi gedung kantor kami.
Aku memilih kafe ini dengan alasan kepraktisan dan efisiensi waktu. Aku ingin mengenal Bulan lebih baik.
Belajar memahaminya.
Pengetahuan soal Cinta telah mengagetkanku.
Sumpah demi apapun, aku tak mengira. Gestur perempuan cantik yang telah menarik perhatianku sejak pertama berjumpa itu memang tak biasa.
Sikapnya sangat tertutup. Bicaranya super irit. Jarang terlihat di kantor. Hanya beberapa jam saja di pagi hari, lalu menghilang. Kembali lagi di sore hari, satu atau dua jam menjelang waktu kepulangan.
Wajar. Sebagai property consultan, Bulan lebih banyak bekerja di lapangan. Bertemu dengan property developer, orang perbankan yang mengurus produk KPR, atau calon klien. Sama denganku yang sering ke luar kantor untuk mencari calon pengiklan.
Justru itu, kesempatan bagiku untuk dekat dengannya tidak banyak. Bahkan saat ini, aku tahu Bulan masih akan sulit aku temui. Seusai jam kantor, tentu dia akan sesegera mungkin pulang. Kembali menemui anaknya. Cinta.
Iya. Anaknya.
Sungguh tak menyangka.
Aku pikir sikapnya yang serba tertutup itu karena Bulan pernah patah hati. Trauma pada lelaki. Tapi tak pernah sedikitpun terpikirkan kalau dia sampai punya anak.
Aku harus tahu kenapa statusnya di data kepegawaian HRD masih lajang.
Kemana ayahnya Cinta?
Aku ingin mengerti.
Untuk itu aku memutar otak. Bagaimana cara memanfaatkan waktu seefektif mungkin. Hari ini aku mengajaknya untuk makan siang bersama di Nat's. Syukurlah dia bersedia.
"Bulan... gak apa-apa yah, kalau saya tanya sedikit-sedikit soal... Cinta?" kataku hati-hati.
Perempuan berkulit putih, berambut panjang, hitam, dan tebal itu melipat bibirnya. Dengan siratan gelisah, wanita yang kutahu dari HRD berusia 27 tahun itu mengangguk perlahan.
Aku tersenyum ramah, berusaha membuatnya nyaman.
"Santai saja, yah... jawab yang kamu mau jawab... kalau sekiranya kamu keberatan menjawab, gak papa... mungkin lain kali..."
Bahunya turun sedikit. Menandakan tubuhnya menenang. Saat itu aku sadar betapa sedari tadi raga perempuan berkemeja hitam berlengan sesiku itu tegang.
"Mmh... kalau boleh tahu... Cinta itu, sakit apa?"
Seketika rautnya berubah muram.
"Cinta... didiagnosis sakit... leukemia," katanya lirih.
Leukemia?
"Maksud kamu? Kanker darah?" kataku kaget bukan buatan.
Gila.
Itu penyakit yang serius.
"Iya... awalnya saya juga gak nyangka. Cuma memang setahunan ini Cinta sering sakit. Flu. Kalau enggak, kecapean dikit aja demam. Kadang sampai mimisan. Suka rewel katanya badannya pegel-pegel..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memahami Rembulan #3 Undeniable Love Series
Romance(Warning : This is teaser version. Please don't read If you're looking for full version) Misterius. Itulah dia. Jiwanya tertutup. Senyumnya terbatas. Raut wajahnya rahasia. Ingin rasanya aku mampu memahami dia. Perempuan itu.... Rembulan.