Sosok Bersayap

4.9K 529 8
                                    


Sidney.

Empat tahun sebelumnya.

"Tenang aja, Bulan... kita santai-santai sedikit. Aku nih mau tunjukkin klub malam yang keren disini. Yuk," kata Mbak Yuniar, kakak sepupuku.

Dua minggu lalu aku dihubungi oleh anak dari kakak lelaki ayahku. Diundangnya aku untuk mengunjunginya di Sidney.

Kota dimana ia tinggal saat ini.

Selepas SMU, Mbak Yuniar kuliah kesini. Habis itu kerja. Lanjut jadi permanent resident.

"Main yuk, sini. Liburan. Siapa tahu kamu betah, bisa cari kerja disini. Mbak bantu cariin." Begitu katanya waktu itu.

Atas izin ayah, aku menyanggupi.

Pagi tadi aku tiba. Langsung dijemput dan dibawa ke apartemen Mbak Yuniar. Setelah sebelumnya bersantap di salah satu tempat makan di area bandara.

Sesampainya aku di apartemen, aku diminta istirahat.

"Nanti malam kita senang-senang ya. Temenku ulang tahun. Nanti aku kenalin."

The World Bar. Itulah nama klub malam yang kami kunjungin.

Ini yang pertama bagiku. Seumur-umur belum pernah aku mengunjungi tempat seperti ini. Bahkan di Indonesia. Tidak pernah.

Aku. Rembulan.

Bukan anak dugem.

"Nih, minum," ucap Mbak Yuniar sambil menyodorkanku sebuah gelas berisi minuman.

Kami duduk di sofa beserta sejumlah orang yang dikenalkan Mbak Yun--begitu aku biasa memanggil kakak sepupuku ini, sebagai teman-temannya.

Ada beberapa laki-laki dan juga perempuan. Semuanya asing bagiku. Terdiri dari berbagai etnis. Ada yang berwajah oriental, ada yang berkulit gelap, ada orang Jakarta juga, ada pula bule.

Mbak Yun sedari dulu memang terkenal gaul dan supel.

"Cosmos. Cobain minum deh," katanya lagi.

Tak ingin bersikap tidak sopan, aku manut saja.

Kami tertawa. Berceloteh ini dan itu. Dari satu gelas minuman, menjadi dua, tiga, lalu empat.

Lalu satu persatu mulai beranjak ke lantai disko. Mbak Yun menarik tanganku untuk turut bergabung dengan yang lainnya.

"Santai aja. Kita senang-senang sedikit. Jangan ja'im. Lepas aja," teriak Mbak Yun dengan antusias.

Kami pun mengikuti hentakkan musik. Hanyut. Tertawa. Bergerak bebas. Lepas.

Sampai...

Punggungku menabrak punggung lainnya dibelakangku. Lumayan keras.

Aku menoleh. Rupanya dia sudah menoleh lebih dulu.

Satu alisnya dinaikan. Matanya mempelajari wajahku.

"Anak Jakarta?" begitu tanyanya dengan Bahasa Indonesia.

Aku menggeleng.

"Bekasi," jawabku.

Dia mengangguk.

Tanpa kata, lelaki itu meraih pinggangku membuatku melangkah ke arahnya.

Berhadapan, dia menatap wajahku ramah dengan senyumnya yang menggoda.

"Dance with me," katanya.

Sedetik kemudian kami mulai bergerak. Ikut arus. Menyatu dengan musik.

Lama-lama...

Gerakan kami sudah mulai tak wajar. Provokatif. Kontak tubuh disana-sini. Entah mengapa aku biarkan saja. Ikuti dengan riang dan tawa.

Segalanya jadi kabur. Antara ingat dan tidak. Kesadaranku layak dipertanyakan. Nalarku berubah sinting. Aku menggila.

Mengikuti apapun yang diinginkannya.

***

Mataku terbuka. Kulihat disekeliling. Kamar.

Kamar siapa?

Dimana aku?

Kulihat tubuhku, hanya berselimut sprei putih. Dengan tangan bergetar, kuintip tubuhku dari balik sprei itu, polos.

Tak ada sehelai pakaian pun menempel ditubuhku.

Panik mulai menjalari sekujur ragaku.

Kupalingkan wajah ke sebelahku.

Kulihat sebuah punggung.

Bergambar sesosok lelaki bersayap. Berlutut disatu kaki.  Kaki lainnya menopang kepala plontos yang terbenam dalam lipatan kedua tangannya.

Perlahan aku bangkit. Dengan langkah gontai kupunguti ceceran pakaianku. Kukenakan dengan tubuh menggigil, tangan bergetar.

Berjalan memutari ranjang, kudekati tubuh itu.

Kusentuh bahunya. Berkali kugoyangkan, mencoba membangunkannya.

Matanya tetap tertutup.

Lelaki itu begitu lelap dalam tidurnya.

Masih dengan tangan bergetar kusingkapkan wajah yang tertutup rambut gondrong sebahunya.

Kutatap lekat-lekat wajah itu. Mencoba mengingat setiap senti kulitnya.

Lalu kuputuskan untuk beranjak pergi.

Aku panik. Aku gamang. Aku takut.

Sorenya aku memutuskan untuk pulang. Kembali ke Indonesia.

Sebulan kemudian saat haidku enggan datang saat itu aku menyadari.

Lelaki tinggi atletis berkulit sawo matang itu telah menitipkan seseorang di dalam rahimku.

Kututup mataku erat.

Tuhan.

Aku akui dosaku.

Hukumlah aku. Itu hak-Mu.

Tapi kumohon...

Bantu aku menjaga jiwa yang bersemayam dalam rahimku.

Dia tak berdosa.

Janin ini...

Memiliki hak utuh untuk di cinta.

Memahami Rembulan #3 Undeniable Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang