"Bulan, yuk masuk..." ajak Rani dengan antusias. Menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumahnya.Rani.
Sahabatku.
Teman sepermainanku.
Lebih tua enam tahun dariku. Aku bahkan lebih muda empat tahun dari adiknya, Rima. Tapi kami bertiga dekat.
Namanya juga tetanggaan. Tentu, masuk akal jika kami menjalin keakraban. Dulu kami sering main bersama. Daripada dengan Rima, aku malah lebih dekat dengan Rani. Entah kenapa.
Aku memanggilnya Rani saja tidak pake embel-embel "Mbak" seperti anak-anak lain sepermainan dulu. Gak tau kenapa bisa seperti itu. Mungkin walau lebih tua, tubuhnya selalu lebih mungil. Bahkan dibanding Rima sekalipun. Kalau sekarang sih, sudah faktor kebiasaan saja.
"Bu... lihat nih siapa. Teman Rani, Bu... namanya Bulan," kata Rani lembut memperkenalkan aku ke seorang wanita sepuh.
Ibunya Mas Rama.
Perempuan itu duduk di sebuah kursi roda. Dari gesturnya, aku bisa melihat bahwa ada gangguan fungsi syaraf disebagian tubuhnya.
"Rani, ini..." aku menyodorkan tas kain berlogo Nat's.
"Apa ini?" tanya Rani sambil menerima tas tersebut.
"Buat... ibu..." kataku sambil tersenyum kepada ibunya Mas Rama.
"Wah, Bu... lihat nih... strawberry cheese cake dari toko kue favorit ibu nih. Kesukaan ibu kan ya?" tanya Rani pada mertuanya sambil memperlihatkan kue yang tadi kubawa dari dalam dusnya.
"Nas...ti...ti..." kata ibunya dengan lambat.
Rani tersenyum sambil mengangguk.
"Toko kue suaminya Bu Nastiti," ucapnya mengkonfirmasi.
Lalu melihat ke arahku.
"Bu Nastiti, istri yang punya Nat's. Anaknya sekelas sama Alfa," terang Rani.
Aku mengangguk.
Oh.
"Ibu, mau ya? Rani potong kuenya?"
Perempuan berdaster batik warna hijau lengan pendek itu mengangguk.
Rani bergegas berlalu. Tak berapa lama, sahabatku yang tengah hamil itu kembali dengan membawa sepiring kecil kue tadi dan garpu.
Dibelakangnya, Bi Nenden --pembantunya, mengikuti. Membawa nampan yang kuyakin merupakan suguhan untukku.
"Dimana Alfa?" tanyaku beberapa waktu kemudian.
Rani menyuapi mertuanya sepotong kecil kue, lalu mengelap air liur yang keluar dari pinggir mulut perempuan beruban itu. Sahabatku itu terlihat begitu telaten dalam memperlakukan ibu suaminya itu.
"Alfa. Sedang les renang. Diantar Mas Rama," terangnya.
Aku mengangguk. Lalu meminum kembali teh manis hangat yang tadi disuguhkan untukku.
"Gimana kabar Cinta. Kok gak diajak?" tanya Rani sambil tersenyum.
Cinta....
Anakku.
Iya. Anakku.
Belum. Aku belum menikah.
Statusku di KTP masih tertulis "Belum Kawin."
"Alhamdulillah. Sehat," jawabku sambil tersenyum.
Rani mengangguk.
Kami kemudian mengobrol ini dan itu. Rani sambil terus menyuapi Ibu Listy, mertuanya. Sesekali mengelap air liur wanita tua yang rambutnya diikat kebelakang itu. Diselingi pemberian minum kepadanya. Rani mengangkatkan gelas bersedotan untuk diminumkan kepadanya.
"Nah, tuh Mas Rama pulang," ujar Rani, girang saat mendengar suara mobil masuk ke carport depan rumahnya.
"Sebentar, ya..." katanya lagi lalu berdiri meninggalkanku.
Tak berapa lama kemudian, Alfa masuk dengan berlari.
"Eyang Putriiii," katanya dengan senang.
Anak lelaki berusia 6 tahunan itu langsung menghampiri dan mencium pipi neneknya.
Bu Listy tersenyum bahagia.
"Hai, Bulan... akhirnya datang juga. Sering-seringlah main kesini," kata Mas Rama sambil merangkul mesra istrinya.
"Alfa, nak... ganti baju dulu. Nanti kesini lagi. Ada kue tuh. Kiriman Tante Bulan," Rani memerintahkan anaknya dengan nada lembut.
Alfa mengangguk. Lalu menuruti perkataan mamanya.
"Bu... lagi apa, Bu?" Rama berjalan mendekati ibunya. Membungkuk lalu menggengam wajah Bu Listy dengan halus. Diciumnya kening perempuan yang telah melahirkannya itu.
Dengan perlahan dan terbata, Bu Listy memberitahukan pada Rama kalau aku membawakan kue kesukaanya. Rani sedang menyuapinya.
Mas Rama mengangguk. Perlahan mengambil sapu tangan di meja kecil sebelah ibunya duduk. Lalu dengan lembut mengelap air liur yang ke luar dari pinggir mulut ibunya sambil tersenyum terus menyimak setiap kalimat ibunya dengan sabar.
Aku melihat begitu besar rasa sayang dan hormat Mas Rama pada ibunya. Kulihat Rani, dia pun sedang menatap keduanya dengan senyuman tulus.
Tak ada kebencian yang tersirat sedikitpun.
Padahal, aku tahu Bu Listy dulu tidak restu pada Rani. Sempat membuat mereka hampir bercerai.
Iya. Aku tahu.
Waktu itu, Rani sempat pulang ke rumah orangtuanya. Membawa Alfa. Bersiap untuk berpisah dengan Mas Rama. Dengan berurai air mata, dia dulu curhat padaku.
Orangtuanya meyakinkan Rani untuk bercerai saja. Sedangkan aku menolak ide tersebut. Kupintakan padanya untuk lebih bersabar dan jangan terburu membuat keputusan.
Aku senang, pada akhirnya Rani lebih memilih mendengar nasihatku.
Lihatlah mereka sekarang...
Aku menolehkan pandangan untuk mengontrol diri. Mataku sudah membentuk kolam air. Sebentar lagi aku bisa menangis.
Sungguh aku terharu.
Cinta mereka, menyentuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memahami Rembulan #3 Undeniable Love Series
Romance(Warning : This is teaser version. Please don't read If you're looking for full version) Misterius. Itulah dia. Jiwanya tertutup. Senyumnya terbatas. Raut wajahnya rahasia. Ingin rasanya aku mampu memahami dia. Perempuan itu.... Rembulan.