"Bulan, hei."Terkaget, aku melihat sosok yang menegurku.
Ridho.
"Sedang apa kamu disini?"
Kecemasan segera menggerayangi sekujur ragaku.
Sedang apa?
Aku sedang menunggui Cinta yang sedang bermain di Timezone ditemani ibuku. Tadi aku pamit sebentar hendak ke toilet. Sekarang aku menuju lagi ke arah arena permainan anak-anak itu.
"Ridho?"
Dalam kebingungan mencari kata, aku mendengar suara wanita memanggil namanya. Aku menoleh ke arah wanita itu. Ternyata dia tidak sendiri. Ada juga sosok laki-laki di sebelahnya. Sedang mendorong troli belanjaan.
"Bulan, kenalkan... ini Ibu dan Bapakku. Aku lagi nganter belanja bulanan nih..."
Gelisahku kian menjadi.
Orangtua Ridho?
Tidak. Aku harus segera meninggalkan mereka.
"Oh, ini yang namanya Bulan... Rembulan?" tanya wanita berjilbab syar'i biru muda itu ramah.
Aku mengangguk. Resahku semakin menggila.
"Sedang apa disini? Kalian gak janjian kan?" goda wanita yang kuduga usianya akhir 50-an tahun itu.
"Oh. Tidak. Saya.... sedang ada... urusan disini... permisi... saya mohon diri... Bu, Pak... Mas Ridho..." aku berusaha seramah mungkin walau tahu perilaku ini kurang sopan.
Tanpa menunggu konfirmasi, aku segera melangkah pergi. Kembali menuju kamar kecil.
Duduk di sebuah closet toilet, aku diam dengan kepala menunduk. Mataku menatap tangan-tangan mungilku.
Dadaku berdegup kencang. Hatiku merasa... takut.
Bukan. Aku tidak malu dengan keberadaan Cinta. Sungguh, tak sedetik pun aku pernah menyesali kehadirannya dalam hidupku.
Aku hanya cemas, bila orang-orang kantor tahu tentang Cinta... tentang kelakuanku di masa lalu. Soal dosaku itu... aku takut sikap mereka berubah. Seperti para tetangga yang sudah lama berubah.
Menjauhi aku dan keluargaku.
Mempergunjingkan kami.
Menghujat. Mencibir. Memusuhi.
Untuk itulah aku berusaha menutup diri.
Aku membutuhkan pekerjaan ini. Gajinya tetap. Ada asuransi dan fasilitas lainnya.
Aku memerlukan kepastian penghasilan untuk mengayomi Cinta. Memastikan kebutuhannya tercukupi.
Ridho.
Dia itu lelaki shaleh.
Aku takut, orang seperti dia akan memandangku jijik.
Aku ingat waktu diundang ke acara akikahnya anak Pak Rio, beberapa bulan lalu.
Ridho didaulat untuk melantunkan ayat suci.
Suaranya merdu. Nadanya indah. Sekeping hatiku seketika bergetar. Tubuhku menggigil. Kulipat bibirku menahan hentakan nafas yang menahan tangis. Kututup mataku. Kulafalkan doa.
Allah. Tuhanku...
Ampuni aku.
Suara HP mengaburkan pikiranku.
Ibu.
"Ya, Bu?"
"Diman kamu? Cinta nanyain nih. Kok lama?"
Aku mengusap air mata sambil berusaha setenang mungkin. Tak ingin ibu mengetahui kalau aku sedang menangis.
"Iya. Sebentar lagi. Masih di toilet," kataku.
"Ya, sudah. Ditunggu ya?"
"Iya, Bu..."
Sambungan telepon ditutup. Segera aku bangkit. Membenahi diri. Membasuh wajah. Kupoles lagi dengan bedak dan lipstik. Rambut kusisir rapi. Kupastikan Cinta melihatku dengan gembira.
Tak usahlah anak itu melihat mamanya berduka.
Bathinnya sudah cukup terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memahami Rembulan #3 Undeniable Love Series
Romance(Warning : This is teaser version. Please don't read If you're looking for full version) Misterius. Itulah dia. Jiwanya tertutup. Senyumnya terbatas. Raut wajahnya rahasia. Ingin rasanya aku mampu memahami dia. Perempuan itu.... Rembulan.