Duduk di lantai, sikuku bertumpu pada kedua lututku. Tangan menopang wajahku. Dalam diam, aku terus menangis.Di sekitar lantai, berceceran sejumlah hasil tes laboratorium yang kubaca dengan seksama lagi dan lagi berharap aku salah baca. Berharap mereka salah menilai.
"Bulan..." suara ibu memanggil namaku. Bahuku ditepuknya ringan. Kuangkat kepala, kulihat wajah lelah ibu.
"Ibu pulang dulu. Tuh Abi sudah datang..." kata ibu sambil menunjuk Abimanyu, adikku yang berdiri sekira dua langkah di belakang ibu.
"Nanti, katanya bapak yang akan datang nemenin kamu malam ini sekalian bawain kebutuhan kamu dan Cinta."
Aku mengangguk lemah.
Ibu menggenggam wajahku lalu mencium kepalaku. Sejumlah doa dilafalkannya diubun-ubunku.
"Kamu kuat ya?" ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca.
Aku melipat bibirku. Lalu mengangguk.
"Mbak... kalau butuh apa-apa WA aja ya..." kata Abi sambil merangkul ibu, bersiap meninggalkan aku dan Cinta berdua di ruang perawatan rumah sakit.
"Iya. Maksih ya Bi. Hati-hati bawa motornya. Jangan ngebut," pintaku lirih.
Abi mengangguk.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Selepas mereka pergi, aku berdiri. Masih beruraian air mata, kulangkahkan kakiku mendekati putri kecilku yang terbaring lemah di tempat tidur kamar rumah sakit tempatnya harus di opname.
"Cinta... Mama mohon... kamu harus kuat... kamu harus sembuh..." bisikku sambil terisak di dahi Cinta.
***
Sesudah menggunakan fasilitas toilet, aku mencuci tanganku.
Ini adalah keesokan harinya setelah aku memasukkan Cinta untuk di opname di rumah sakit. Atas saran ibu, aku tetap masuk kerja.
"Sudah, kamu bersiap ke kantor. Biar Cinta sama ibu." Begitu katanya pagi tadi saat datang menggantikan ayah yang semalaman menemani aku menunggui Cinta.
Sungguh. Aku sangat berhutang pada orangtuaku, bahkan adik-adikku. Tak sedetik pun mereka pernah menyudutkanku atas masalah yang aku hadirkan ke keluarga kami.
Terdengar suara siraman toilet dari salah satu kotak partisi. Pintu terbuka. Sesosok perempuan muncul berjalan ke arah westafel di sebelahku.
Cahaya. Istrinya Pak Rio.
"Bulan..." katanya saat melihatku.
"Mbak Caca... kok pucat?" ucapku.
Perempuan mungil itu terkekeh sambil mencuci tangannya.
"Aku nih, isi lagi."
Dahiku berkerut.
"Isi lagi?"
Cahaya mengangguk.
"Iya. hamil lagi. Gila ya? Padahal Prabu baru umur 6 bulan. Ehh, kok aku dah hamil lagi aja. Jadi malu juga nih nanti sama teman-teman kantor," terangnya sambil terus terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memahami Rembulan #3 Undeniable Love Series
Romance(Warning : This is teaser version. Please don't read If you're looking for full version) Misterius. Itulah dia. Jiwanya tertutup. Senyumnya terbatas. Raut wajahnya rahasia. Ingin rasanya aku mampu memahami dia. Perempuan itu.... Rembulan.