Lelaki Baik - Baik

4.7K 407 1
                                    

Rembulan

"Cinta sudah tidur?" tanya bapak di teras belakang sambil melihat ibu menyirami sejumlah tanaman buah dan sayur di kebun.

Aku mengangguk, lalu duduk di sebelah bapak.

"Gimana jadinya? Cinta harus dioperasi?"

Aku menghela nafas.

"Iya, Pak. Untuk menentukan jenis leukemianya. Pas pertama datang ke dokter onkologi tiga minggu lalu, kan kondisi Cinta lagi lemah. Ada infeksi virus. Jadi diobati dulu, dikasih vitamin juga, biar Cinta secara fisik pulih dulu. Habis itu, dokter lihat sekiranya sudah memungkinkan buat Cinta untuk operasi."

Bapak mengangguk. Wajahnya muram.

"Terus, tadi gimana kata dokter?"

Tadi siang aku sudah kembali membawa Cinta rawat jalan ke rumah sakit.

Seperti biasa bila aku harus membawa putriku kontrol, aku selalu membolos.

Tidak enak badan.

Itulah alasanku saat memberi pesan via WA pada HRD.

Aku belum bisa terus terang.

Selain Ridho, tak ada teman kantor yang tahu soal Cinta. Jangankan sakitnya. Kehadirannya saja masih rahasia.

"Perkembangannya bagus, Pak. Staminanya dianggap cukup kuat untuk menjalani operasi nanti. Tapi seminggu ke depan masih terus minum obat dan vitamin secara teratur dulu. Sambil terus dipantau...."

"Terus operasinya setelah minggu depan?" tanya bapak.

Aku mengangguk.

"Dijadwalkannya begitu."

"Mmh... nanti kira-kira berapa lama opnamenya?"

"Kemungkinan sih 1 – 2 hari sebelum operasi. Setelah itu mungkin sekitar 2 – 3 hari setelahnya. Tergantung kondisi Cinta nanti. Tapi kemungkinan, di opname tidak lama. Hanya rawat jalannya saja yang harus rutin."

Bapak menghela nafas sambil mengangguk.

"Bisa... sembuh kan?" tanya bapak dengan penuh kehati-hatian.

Sekeping hatiku langsung merasakan perih yang teramat sangat, mendengar pertanyaan bapak. Itu jugalah pertanyaan yang aku ajukan kepada dokter dengan rasa takut yang begitu mendalam.

Horor.

Itulah hidupku sejak tahu sakitnya Cinta. Setiap saat. Setiap waktu. Aku hidup dalam kecemasan. Dihantui rasa takut.

"Insya Allah, Pak... kata dokter, kalau diobati secara intensif dan rutin, kemungkinan sembuh itu ada," kataku lirih.

Bapak mengangguk.

"Insya Allah. Bapak berdoa terus. Siang malam. Bapak memohon pada Allah agar Cinta diberi kesembuhan. Kamu diberi ketabahan. Keluarga kita diberkahi dengan segala kebaikan."

"Amiiin," kataku dengan sepenuh hati.

"Sedang bicara apa?" tanya ibu saat mendekati kami, lalu duduk di kursi sebrang bapak.

"Biasa, Cinta," jawab bapak.

Ibu mengangguk. Air mukanya seketika kelabu. Aku paham, sakitnya Cinta telah membuat semua orang di rumah ini bersedih. Walau mereka terus berusaha menyembunyikan kerisauannya.

"Bulan... Ibu bukannya mau menambah beban pikiran kamu lagi. Tapi, kita tidak bisa menutup mata. Sakitnya Cinta, itu serius. Siapapun papanya Cinta, berhak tahu sebelum... terlambat..."

"Bu!" bentak bapak menanggapi perkataan ibu.

"Ibu bukannya mau nakut-nakutin, Pak. Ibu juga sayang sekali sama Cinta. Tapi kita juga harus realistis. Cinta berhak ketemu sama papa kandungnya walau hanya sekali saja. Dan, papanya juga berhak tahu tentang keberadaan Cinta," kata ibu membela diri dengan menahan tangisnya.

"Iya... tapi..."

"Sudah... sudah. Ibu... Bapak... jangan bertengkar. Tidak enak kedengaran tetangga. Lagian Cinta sudah tidur. Nanti susah lagi menidurkannya. Masalah papanya Cinta... seandainya Bulan ingat, kalau ada petunjuk sekecil apapun, pasti aku gimana caranya berkabar sama papanya Cinta. Tapi... Bulan gak ingat..." kataku sambil terisak.

Ibu segera bangkit menuju aku. Memelukku dalam duduk.

"Iya... tapi... coba pelan-pelan diingat lagi..." kata ibu sambil mengusap-usap punggungku.

Pelan-pelan diingat lagi.

Aku sudah mencoba. Berulang kali.

Semuanya sama. Memori itu begitu kabur.

Selain wajah, rambut, dan tato di punggungnya. Aku tak ingat lagi.

Setelah kami mulai bisa menenangkan diri, bapak mulai bicara lagi.

"Bagaimana dengan Ridho? Dia sudah tahu semuanya? Soal Cinta dan... papanya?"

Aku melipat bibirku, lalu mengangguk.

Pelan-pelan, aku mulai terbuka pada Ridho. Sejauh ini, sikapnya masih wajar. Aku bisa menemukan guratan kekagetan di wajahnya setiap kali aku mengungkapkan kebenaran soal aku, dan sejarah kehadiran Cinta dalam kehidupanku.

Namun, sejauh ini Ridho selalu mampu mengontrol emosinya. Kata-katanya tidak pernah menghakimi. Sebaliknya, dia terkesan suportif. Bahkan, bila tidak salah merasa, sepertinya Ridho berusaha memenangkan hati Cinta.

"Sikap Cinta sama Ridho itu kelihatannya biasa saja ya?" ucap bapak. Ada nada sesal yang tersurat dalam kalimatnya.

Cinta memang tidak pernah menolak kehadiran Ridho dalam keluarga kami. Tapi, bapak benar, sikapnya juga tidak bisa dibilang antusias. Biasa saja.

"Iya. Aneh juga sih. Padahal, Nak Ridho itu sudah begitu baik dan telaten. Sabar gitu lho... kata-katanya halus. Sopan. Iya kan, Pak?" ucap ibu. Sudah jelas bahwa ibu memuja sosok Ridho yang memang kerap datang ke rumah.

"Iya," kata bapak sambil mengangguk.

"Kamu dan Ridho, gimana? Sudah ada pembicaraan yang mengarah ke hubungan serius?"

Aku menatap bapak. Lalu menggelengkan kepala.

"Belum?"

"Belum, Pak."

"Loh, kenapa?" tanya ibu.

Aku mengalihkan pandangan ke arah ibu.

"Memang belum ada pembicaraan ke arah sana. Sejauh ini, hubungan kami masih... teman."

Ibu menatapku. Ada guratan kekecewaan yang terlihat dari wajahnya. Tapi kemudian ibu mengangguk.

"Ya, sudah. Terserah. Tapi ingat, kamu tidak akan muda terus.  Sudah punya anak. Status lajang. Kesempatan untuk bisa dilirik laki-laki baik-baik itu semakin sulit. Kalau ibu lihat, rasanya Ridho sudah yang paling baik."

Aku diam saja. Tidak tahu bagaimana menanggapi kalimat ibu.

Memahami Rembulan #3 Undeniable Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang