Sabtu siang, aku berbaring sambil memeluk Cinta di atas ranjang kamarku. Walau sudah pulang ke rumah bukan berarti putriku ini sudah sehat. Selain masih harus minum obat secara teratur, makan yang cukup, juga harus rutin kontrol. Rawat jalan.Kondisinya pun belum pulih. Masih lemes. Sangat manja. Kalau ada aku di rumah, gak mau pisah. Inginnya nempel terus.
Tadi sehabis makan dan minum obat, Cinta aku keloni untuk tidur siang.
Kupeluk dan kubelai terus dalam rengkuhanku. Perhatianku hanya terpusat satu saja padanya.
"Bulan... ada tamu," kata ibu dengan nada berbisik, masuk ke kamarku.
Dahiku berkerut.
Hah?
"Tamu?"
Ibu mengangguk.
"Laki-laki. Bersih. Ganteng. Katanya temen kantor kamu?"
"Temen kantor?"
"Iya. Katanya namanya, Ridho."
Ridho?
Tuhan.
Buat apa dia kesini?
Bukannya gesturku jelas? Aku selama beberapa hari ini terus menghindarinya. Tak sedikit pun aku biarkan ada celah dia mendekat.
Sekarang dia kesini? Ke rumah ini?
"Bulan?" tanya ibu membuyarkan pikiranku.
"Kenapa? Kok seperti yang ketakutan gitu?"
"Bu... dia gak tahu... soal... Cinta. Gak ada teman kantor yang tahu," kataku lirih.
Ibu melipat bibirnya. Rautnya menampakkan kebingungan.
"Coba kamu temui saja. Orangnya duduk di kursi teras. Ajak ngobrol sebentar. Gak enak sudah datang."
Aku mengangguk.
"Bu... tetangga..."
Ibu melambaikan tangannya ke atas.
"Ah, sudah biarin saja. Terserah mereka mau berpikiran apa. Sudah nanggung jadi bahan gunjingan juga. Gak usah jadi beban lagi."
Perlahan aku bangkit. Duduk. Kupegang tangan ibu.
"Maafin Bulan ya Bu... sudah merusak reputasi keluarga kita... Bulan..."
Ibu tiba-tiba menggenggam wajahku memaksaku untuk menatapnya.
"Sudah. Gak usah bicara begitu. Kamu sudah cukup berat menerima konsekuensinya. Setiap hari. Selama bertahun-tahun. Namanya orangtua, pasti sayang sama anaknya. Susah, senang apapun keadaannya, namanya anak ya pasti diterima. Dicintai. Tanpa syarat. Sudah, kamu rapi-rapi dulu. Sisiran. Temui Ridho... sepertinya dia anak baik..."
Aku mengangguk.
"Ridho itu bukan hanya kelihatan baik, Bu. Pinter ngaji juga." Entah kenapa aku ingin berbagi dengan ibu.
Seketika raut wajah ibu terlihat ceria.
"Iya?"
Aku mengangguk. Lalu kuceritakan pengalaman mendengarkan Ridho melantunkan ayat suci di acara akikahan anaknya Pak Rio, dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memahami Rembulan #3 Undeniable Love Series
Любовные романы(Warning : This is teaser version. Please don't read If you're looking for full version) Misterius. Itulah dia. Jiwanya tertutup. Senyumnya terbatas. Raut wajahnya rahasia. Ingin rasanya aku mampu memahami dia. Perempuan itu.... Rembulan.