Bertemu Rama

6.4K 533 3
                                    

           
Rembulan

"Selamat siang. Bisa dibantu?"

Demikian sapa perempuan hitam manis berambut lurus panjang sepunggung dibalik meja resepsionis PT. Bahasa Media Mitra Bisnis, atau yang populer dengan Bahasa Media Grup, biasa juga disebut BaMe, kantornya Mas Rama.

Tak butuh lama bagiku untuk bisa menemuinya. Aku sudah membuat janji  sebelumnya.

"Hei, Bulan...masuk, masuk," katanya ramah saat Nadya, resepsionis tadi mengantarkanku ke ruangan Mas Rama.

"Mas...apa kabar?" kataku membalas keramahannya.

"Baik. Duduk, mau minum apa nih. Kopi? Teh?"

"Teh saja, makasih."

Rama mengangguk.

Berteleponlah dia dengan seseorang. Kuterka office boy untuk membawakan secangkir teh ke ruangannya.

"Bulan...saya baru tahu kamu sekarang dah gak freelance lagi. Sekira seminggu lalu waktu ibu minta saya menjual rumah di Fatmawati, saya kepikiran minta tolong kamu..." kata Mas Rama membuka obrolan.

Seperti biasa, lelaki kharismatik ini enggan membuang waktu.

To the point saja.

Aku mengangguk. Menyimak arah katanya.

"Trus, pas saya tanya ke Rani, dia bilang kamu sekarang dah kerja kantoran. Di Rumah Impian. Kebeneran Rio adik sepupu saya. Pas kemaren ketemuan, ya sudah langsung keinget kamu deh..."

Aku tersenyum.

"Iya. Tadi pagi Pak Rio udah jelasin. Jadi, rumah ibunya Mas Rama mau dijual?"

Aura wajah lelaki tampan berkaca mata minus itu langsung berubah sedih.

"Iya. Hampir enam bulan lalu ibu kena stroke. Sekarang ada di rumah. Di urus Rani. Walau kita hired juga perawat dari agensi.

Sampai sekarang ibu masih rutin kami bawa berobat, rawat jalan. Terapi ini itu..."

Hening.

Aku sabar menyimak. Mas Rama seperti menerawang pikirannya. Sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Rumah itu besar. Tapi kondisinya...sudah ada kerusakan disana-sini. Tanahnya juga luas. Justru itu, jadi butuh perawatan terus. Seminggu saja, rumput-rumput sudah meninggi. Ilalang tumbuh disana sini..."

"Selama ini urusan kebun diurus Mang Amir. Tapi sekarang kondisi beliau sudah sepuh. Sudah kerja di rumah ibu sejak saya SMU dulu. Beliau sudah tak sekuat dulu. Malah sudah minta pensiun."

Hening.

Rama seperti berpikir dulu sebelum melanjutkan kata selanjutnya.

".... Ayah saya dulu pengusaha. Menjelang tua, usahanya gulung tikar. Saat berpulang, almarhum mewariskan tabungan dan deposito, selain rumah dan tanah di Fatmawati. Tapi seiring waktu berjalan...sedikit demi sedikit peninggalannya mulai menyusut, digunakan ibu untuk membesarkan, menyekolahkan saya dan biaya hidup selama ini..."

"Sejak saya kerja, saya bantu dikit-dikit. Setelah ibu kena stroke, agak berat juga. Saya harus tentukan prioritas. Ibu saya gak punya asuransi kesehatan. Jadi sejak stroke, saya handle semua biayanya...baru belakangan ikut BPJS lumayan banget ngebantu..."

"Tapi diantara biaya perawatan ibu, anak-anak, dan Rani yang sekarang sedang hamil lagi..."

Aku terperanjat kaget mendengar hal yang belum kuketahui itu.

Rama tersenyum menyadarinya.

"Kamu sih. Belakangan kayak ngilang. Jadi gak tahukan?" goda Rama.

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Bukannya ngilang. Rani saja yang tambah jarang kelihatan pulang ke Bekasi. Atau saat Rani pulang saya sedang tidak ada. Gak tau deh. Gak maksud ngilang, Mas...beneran...kita kayaknya sibuk masing-masing jadi gak sengaja...tiba-tiba dah setaunan aja gak kontak..."

Rama tersenyum mengangguk.

Pintu ruang kerja Rama ada yang mengetuk. Tak lama pintu kaca geser itu terbuka. Seorang pria berusia sekira akhir 40-an datang membawa nampan berisi cangkir putih.

"Terima kasih, Pak Warta," kata Mas Rama pada lelaki yang menarih secangkir teh dihadapanku sebelum beranjak pergi.

"Diminum..." kata Mas Rama menunjuk pada cangkir di depanku.

Aku mengangguk lalu menyeruput teh tersebut.

"Anyway...seperti saya bilang. Saya ada skala prioritas. Saat ini perawatan rumah Fatmawati belum jadi yang utama. Selama ini saya sudah berusaha handle semuanya. Lama-lama lumayan berat juga. Rumah itu, listriknya saja bisa lima ratus ribuan sendiri walau cuma diisi oleh Mang Amir. Paling nyalain apa sih? Lampu, tv, lemari es...yah yang standar-standar gitu aja...tapi...yah saking gedenya tuh rumah...listriknya 2300 watt."

"Belum lagi PBB-nya...biaya rutin ini dan itu..."

Rama menggeleng lalu menghela nafas.

"Tidak dicoba dikontrakan dulu? Saya juga bisa bantu carikan calon penyewa. Rumah Impian tidak hanya bantu menjualkan lho, tapi juga menyewakan properti," terangku.

Rama mengangguk.

"Mmh. Sempat kepikiran gitu. Tapi seperti saya bilang. Sudah terjadi kerusakan disana sini. Blom tentu calon penyewa mau nerima kondisinya seperti itu. Ruangan yang masih layak huni tuh yang bagian depan. Ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan. Itu ruangan yang masih bagus. Dapur butuh perbaikan tapi gak banyak..."

"Nah area belakang, dari taman belakang, kolam renang dan seterusnya dah rusak banget. Kolam renang dah lama juga kering. Sekarang diisi daun-daun kering dari pohon-pohon besar disekitarnya...disebrang kolam ada bangunankan nyambung ke rumah utama via koridor di area samping kolam. Nah, koridornya aja kalau hujan bocor. Bangunan belakang yang saya maksud...itu ada tiga kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang kerja almarhum, itu dah rusak disana-sini..."

"Saya sempet panggil orang buat estimasi biaya perbaikan. Angkanya lumayan. Buat saya itu berat. Saya ada sih simpanan, tapi gak berani otak-atik. Buat emergensi. Sekali lagi prioritas saya sekarang ibu, Rani serta janin yang dikandungnya, Bilqis dan Alfa. Saya ingin mastiin anak-anak dapat sekolah di institusi pendidikan berkualitas ya...itu gak murah..."

Aku diam. Terus menyimak. Sesekali ku seruput teh hangat yang tadi disuguhkan Pak Warta.

"Awalnya saya dan Rani keep masalah ini berdua. Gak tega cerita ke ibu. Rani sebisa-bisa ngatur budget supaya cukup. Apalagi sejak hamil, dia stop trima jahitan. Praktis ngandelin gaji saya disini dan royalti buku-buku saya..."

"Saya juga dah tiga bulanan ini nyaris gak pernah bawa mobil ke kantor. Motoran aja. Ngehemat biaya bensin. Mobil dipake seperlunya..."

"Sekira semingguan lalu, justru ibulah yang bilang pengen jual rumah. Katanya beliau dah mantap tinggal bersama kami. Gak niat balik lagi ke rumah...ya sudah kita sepakat jual..."

Aku mengangguk lalu mulai menjelaskan cara kerja Rumah Impian. Mas Rama setuju. Akhirnya lelaki yang sekarang berambut cepak itu menandatangani MOU.

Rumah Impian resmi memiliki hak eksklusif sebagai agen penjual rumah tersebut selama satu tahun. Dengan komisi 10 persen. Selepas masa perjanjian jika rumah belum terjual masing-masing pihak bisa mengevaluasi kerjasama. Lanjut atau berhenti.

"Makasih ya Bulan. Mudah-mudahan kamu cepet dapat pembeli. Main-mainlah ke rumah. Rani pasti senang kamu datang," kata Mas Rama saat aku pamit.

"Iya, Mas...doain aja supaya lancar...iya nanti biar saya janjian dulu sama Rani..."

Mas Rama mengangguk. Lalu mengantarkanku hingga ke depan lobi kantornya.

Memahami Rembulan #3 Undeniable Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang