"Tunggu di depan stasiun? Baiklah, baiklah," ucapku pasrah sambil mendorong koper lalu bersandar di dinding.
Suasana stasiun kereta api telah dipenuhi kerumunan orang yang datang dan pergi. Kehidupan perkotaan begitu terasa asing untukku, apalagi kuil yang kutempati nyaris berada di pedalaman. Jangankan menggunakan kereta api, melihat kendaraan roda empat yang lewat di desaku bisa dihitung dengan jari dalam sehari.
Ini hari baruku.
Ya, ibu telah berpesan bahwa ada seseorang yang akan menjemputku dan bersedia memberikan akomodasi utama; sebuah penginapan. Aku tahu hal ini akan terjadi--- bahkan aku tidak ingin membayangkan kejadian ini.
Yaitu kehidupanku sebagai cenayang.
Bukannya aku tidak suka jalan-jalan atau menikmati suasana baru, tetapi semua ini terlalu tiba-tiba. Tidak. Aku tidak boleh merasakan ketakutan seperti ini. Kutarik napas mendalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Aku hanya perlu berusaha, lalu melakukan aktivitas cenayang sebaik mungkin.
"Miss [Name]?"
Ternyata setelah tiga puluh menit lamanya, ada seseorang yang memanggilku.
Eh. Tunggu. Siapa yang memanggilku?
Aku menoleh, mendapati seorang pria paruh baya bertampang aneh--- setelan jas cokelat pekat diikat dasi merah polkadot, bingkai manik abu-abu berlensa hitam, dan seringai kilat menyambutku. Dia mengulurkan tangan kepadaku. Meski bingung, aku tetap menjabat ulurannya pula.
"Maaf, Anda siapa?" Aku menggaruk tengkuk.
Pria paruh baya itu memutar dirinya dengan semangat. Aku merasa kikuk, tidak bisa berucap sepatah kata pun--- apalagi menyadari orang sekitar melihatnya bertingkah eksentrik meskipun pria itu tidak peduli.
"Hohoho, maaf sebelumnya. Perkenalkan, nama saya Shining Saotome. Saya yang menyediakan akomodasi bagi Miss [Name], sang cenayang."
Jujur. Aku ragu jika itu nama aslinya. Namun selain dia, tidak ada lagi seseorang yang tampaknya mengenaliku.
"Omong-omong, Anda... tidak takut akan profesi saya? Saya bisa melihat hantu, loh." tanyaku yang sebenarnya lebih menginginkan kembali ke kuil dengan alasan "sang penampung mengusir karena ketakutan".
Namun, pria itu--- Saotome--- tertawa terbahak-bahak seolah ucapanku adalah lelucon sambil memutari tubuhnya. Aku mengerjap, tepatnya merasa bingung adakah yang lucu dari ucapanku barusan.
Saotome tersenyum lebar lalu berkata, "Tenang saja. Pintu rumahku terbuka bagi orang-orang spesial."
Aku menggaruk tengkuk. "Ah, begitukah?"
Dugaanku salah. Benar-benar salah untuk memancingnya karena pria itu justru dengan senang hati menyambutku. Ternyata dia punya pemikiran positif.
"Akan saya antar menuju hunian baru Anda. Apa hanya koper itu saja?" tanya Saotome mengambil kunci mobil di dalam saku celana.
Aku mengangguk cepat. "Ya. Terima kasih."
"Ohohoho~ semoga betah, ya."
Aku tidak meyakinkan bagian "betah" yang dia maksudkan, tetapi mau tidak mau aku harus beradaptasi.
Orang yang spesial, ya.
Apa yang bisa kupergunakan di sebuah perkotaan yang sedemikian pelik seperti ini?
• • •
Suasana perkotaan terlihat gemerlap karena sederetan tiang lampu yang dipasang di pinggir jalan. Saotome terlihat fokus dengan kemudinya, sedangkan aku hanya meratapi jalanan yang ramai oleh kendaraan roda empat. Kulirik arloji yang tersemat di pergelangan tanganku. Satu jam lebih perjalanan dari stasiun kereta api telah berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
sʜᴀᴍᴀɴ's ʟɪғᴇ
FanfictionFiksi Penggemar Uta no Prince-sama Bahasa Indonesia. ------------------------------------------------------------- Hai, namaku [Full Name]. Usiaku 18 tahun. Memutuskan hidup di kota besar seperti Tokyo adalah hal baru bagiku. Atas dasar permintaan...