Inspektur Mikaze mengusap dagu. "Aku enggan menyatakan ini, tapi Kurosaki-san sedang koma. Dan ...."
"Dan?" Ichinose bertanya, tak sabaran.
"Ada hantu wanita paruh baya terus berada di sisi Kurosaki-san. Entah sejak kapan, terus menemaninya."
Aku terdiam sejenak. Selama ini, aku mengira Inspektur Mikaze selalu membasmi hantu seperti mesin penyedot debu. Kalau diingat-ingat, kasus Roberto, kukira dia hanya sekadar menahan diri demi mengujiku. Kemudian muncul lagi alasan yang lebih logis: demi penghematan energi, memastikan diri selalu efisien dan efektif.
"Kenapa Mikaze-san tidak mengusirnya?" tanyaku mengepalkan tangan erat-erat. "Kita harus memastikan Kurosaki-san baik-baik saja."
Iris cyan Mikaze menyipit. "Tidak. Dia bukan hantu biasa. Dia tak melukai Kurosaki-san. Diam saja seperti angin, meskipun mata kami bertemu."
Ichinose menyela, "Bisa saja hantu itu memang sosok yang mengenalinya."
Dia belajar dari pengalaman. Semua hantu yang mendatangi mereka pasti punya ikatan. Ikatan yang membelenggu bila tidak diselesaikan sebelum dipulangkan ke dunia kekal.
"Apa hantu bisa pulang sendiri tanpa mantra cenayang?" tanyaku memandang langit indigo pekat. Kini tiada sebutir bintang pun terlihat. Remang-remang penerangan Tokyo cukup terang untuk mengaburkan segala benda langit yang awalnya bisa terlihat.
"Bisa. Apa tadi terjadi olehmu?" Inspektur Mikaze lantas bertanya balik.
Mau tidak mau, aku hanya bisa membenarkan--- gelagapan--- menyadari Ichinose masih berada di sebelahku. Namun, jawaban itu melegakan batinku. Kalau pun Ichikawa memang belum pulang, aku yakin dia takkan sekejam awal bertemu. Setidaknya, dia takkan mengeluarkan aura membunuh. Kejadian di dalam mobil sangat di luar dugaan; berakhir baik-baik saja sudah sangat melegakan jiwa dan raga.
"Mari kita jenguk Kurosaki-san!" ajakku menuju pintu utama rumah sakit. Setengah melangkah, pintu otomatis terbuka. Namun, pintunya tertutup kembali karena Inspektur Mikaze mencegat lenganku.
"Jangan pergi dulu. Tidak baik bagiku untuk curiga, tetapi berbagai fakta yang kukumpulkan cukup meyakinkan," tukas Inspektur Mikaze.
"Maksudmu?" tanyaku sebenarnya setengah tidak sabaran. Debaran jantungku memang sudah meningkat drastis. Terutama melihat rupa wanita itu.
"Sepuluh tahun yang lalu, ibu Kurosaki meninggal akibat kecelakaan mobil yang disengaja. Aku curiga bahwa dialah hantu itu. Ditambah konflik keluarga Kurosaki yang lumayan runyam."
Tubuhku seketika terasa lemas, tetapi berusaha tetap berdiri tegak. Selama ini aku tidak mengetahui asal-usul Kurosaki. Selama ini aku selalu mendapatinya sendirian. Menjinjing bass hitam yang dicintainya. Dia telah berada di mansion sebelum aku tiba. Sesaat, ucapan Saotome kembali memenuhi benakku.
Bahwa kami– penghuni mansion– pilihan-pilihan spesial darinya.
"Jadi ... apa kita tidak bisa berbuat apa-apa?" tanyaku merasakan kedua pipiku basah.
Ichinose menepuk bahuku. "Kurosaki-san pasti bisa bertahan. Apa kau masih sanggup menjenguknya?"
Aku mengangguk, menyeka pipi yang basah. "Karena kita sudah berjuang untuk tiba di sini. Jadi, kenapa tidak?"
× × ×
Jam besuk hanya tersisa satu jam lagi. Perawat setempat menghimbau kami agar tetap selalu tenang dikarenakan hari semakin larut. Mikaze berpesan bahwa aku dan Ichinose yang pergi menjenguk saja; hanya dua tamu per ruang yang yang dipersilakan menjenguk pasien. Namun, bila seandainya hantu wanita itu berulah, aku harus segera menghubunginya sesegera mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
sʜᴀᴍᴀɴ's ʟɪғᴇ
FanfictionFiksi Penggemar Uta no Prince-sama Bahasa Indonesia. ------------------------------------------------------------- Hai, namaku [Full Name]. Usiaku 18 tahun. Memutuskan hidup di kota besar seperti Tokyo adalah hal baru bagiku. Atas dasar permintaan...