Hijirikawa memberikan foto sobek itu kepadaku. Tepatnya, aku meminta darinya demi penyelidikan lebih lanjut. Kini jam besuk sudah berakhir dan kuputuskan kembali ke mansion. Beberapa penghuni tidak kelihatan--- sepertinya sedang bekerja.
Kakiku menjejaki anak tangga menuju kamar. Kamar di sebelahku kini kosong. Memang hari-hari biasa juga sering, tapi karena kecelakaan membuat suasana semakin hampa. Seharusnya aku kembali ke kamar, tetapi kakiku tetap berpijak ke kamar Kurosaki.
Memutar arah kenop pintu.
Oh, ternyata tidak terkunci.
"Masuk ke kamar penghuni lain tanpa izin itu ... sangat tidak sopan."
Suara datar berintonasi tinggi itu. Inspektur Mikaze. Aku segera menoleh, memberi cengiran terbodoh.
"Mikaze-san tahu kalau aku masuk ke sana karena ... ini." Aku menarik foto sobek itu dari saku celana.
Iris cyan Mikaze melebar sedikit, lalu kembali menyorot semula. "Perlu kutemani?"
Tidak biasanya Inspektur Mikaze mau menawarkan bantuan lebih dulu. Biasanya aku yang dulu meminta saat terdesak.
"Jujur, sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana rupa ibu Kurosaki-san," tuturku menarik napas lemah. "Sama sekali tidak ada jejaknya di ruang pasien selama aku menjenguk."
Ponsel Mikaze berdering. Aku segera mempersilakan dirinya mengangkat panggilan itu.
"Moshi-moshi? Baik. Saya akan segera ke sana," jawabnya singkat, padat, dan jelas.
"Jadi, sepertinya kau tidak bisa menemaniku," dugaku terkekeh kaku. Sepertinya bukan nasib baik bagiku menerima bantuannya hari ini.
Inspektur Mikaze mengangkat bahu. "Apa boleh buat. Saotome-san sedang membutuhkan bantuanku di kantor."
"Kalau begitu ... pergilah. Hati-hati." Aku melambaikan tangan.
Selama ini, kamar tidur pernah kudatangi yakni kamar Hijirikawa. Kesan awalnya beraroma herbal menyegarkan. Dia juga punya tanaman sendiriㅡ sangat terawat dan mendapatkan penyinaran baik walaupun di dalam ruangan.
Berbeda dengan kamar lelaki yang kini sedang terbaring di rumah sakit. Sangat dirinya. Ada sejumlah poster musisi terkenal. Nuansa kamarnya agak redup walaupun sudah kunyalakan lampu di siang hari.
Seberang tempat tidurnya memiliki meja rias. Saat dia akan tampil sebagai vokalis metal, eyeliner jadi andalan nomor satu. Aku ingat kalau dulu saat awal-awal menghuni, aku merusak seni yang dirangkai sepenuh hatinya. Namun, kini ruang ini hampa.
Terlalu luas untuk dihuni sendirian.
Bahkan kamarnya lebih luas daripada kamarku.
Irisku mendapati sebuah pintu kayu yang tersemat di sudut sebelah lemari. Aneh. Seperti dibiarkan dalam keadaan tua dan sedikit usang. Ingin tahu, aku beranjak dari ranjang yang kududuki sebentar.
Semakin dekat jarakku dengan pintu itu, bulu kudukku naik begitu saja. Apa yang salah dengan eksistensi itu? Tidak seperti pintu kamar mandi. Dan seingatku, seluruh penghuni memiliki pintu kamar mandi yang didesain dengan bahan plastik. Memang aku tidak mengecek seluruh kamar penghuni, tetapi kejanggalan ini semakin menjadi-jadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
sʜᴀᴍᴀɴ's ʟɪғᴇ
FanfictionFiksi Penggemar Uta no Prince-sama Bahasa Indonesia. ------------------------------------------------------------- Hai, namaku [Full Name]. Usiaku 18 tahun. Memutuskan hidup di kota besar seperti Tokyo adalah hal baru bagiku. Atas dasar permintaan...