Sepertinya dia termakan ancamanku. Setidaknya, mobil yang dikendarai sudah berjalan lebih mulus dan stabil. Alih-alih goyah seenaknya. Apalagi jalanan kota semakin dekat.
"Kau bisa saja membunuhku sekarang. Tapi karena tingkah bodohmu diusir oleh selembar kertas ini, kau takkan bisa berpisah dengan tenang. Sensei-mu pasti juga segera lupa denganmu," gertakku lagi.
Kertas mantra bisa mengusir dengan cepat. Meski penuh paksaan. Hantu yang bergentayangan akan lenyap, terbakar, lalu menjadi puing abu. Kepergian termalang yang diingini manusia, di dunia yang fana.
Sebenarnya, aku hanya setengah menggertak. Sisanya kebenaran. Bertindak tega tidaklah sesuai dengan prinsipku, tapi Ichinose pasti akan tersiksa. Dan, aku tidak mau menambah perkara buruk kepadanya.
"Jangan! Tch, sialan," umpatnya balik.
Aku menyimpan kertas mantra ke dalam saku. "Baiklah, tidak akan kulakukan. Ternyata kau bisa menyetir dengan baik, ya? Padahal status aslimu masih murid biasa, 'kan?"
Agak aneh kalau aku sedang berbicara kepada Ichinose yang dirasuki seperti ini. Namun, apa boleh buat. Gadis itu enggan keluar dan terus menempel semaunya.
"Aku sudah bisa menyetir sejak akhir tahun SMP. Aku memang salah merasuki raga. Harusnya kau saja. Tapi ... tidak bisa. Aku kesal melihatnya terluka. Aku jijik denganmu yang terus masih menempel di sisinya."
Alisku tertaut dalam. Menahan kekesalan yang memuncak. "Tidak, kau takkan bisa menguasaiku. Yang bisa melihatmu kini hanya aku, seorang cenayang."
Saat aku tertidur pun hanya pura-pura agar tidak ketahuan telah melihatnya. Kalau saja dia masih hidup, aku pasti sudah menjambak rambutnya. Dia yang terobsesi, tervonis olehku; seratus persen pasti membenciku luar-dalam.
"Aku bukan murid biasa. Peraih beasiswa terbaik, juara bergilir dua tahun berturut-turut, dan setiap harinya mendapat surat cinta," tambahnya lagi kini memojokkan posisi mobil ke sisi trotoar.
Bagus. Dia terpancing untuk mengutarakan emosinya.
"Tipe siswa teladan," sambungku singkat, padat, dan jelas. "Hidupmu sempurna, ya."
Ia menggeleng. "Nyaris. Hanya kurang cinta. Ternyata sensei malah memilihmu. Kenapa? Kenapa aku harus tertabrak mobil saat itu!? Kenapa?! Kenapa?!"
Aku terdiam sejenak. Ternyata dia mati akibat kecelakaan. Pasti sangat kesepian dan menyakitkan. Perasaannya belum sempat terutarakan.
"Kita takkan tahu kapan hidup dan mati di dunia. Tapi setidaknya, kau ingin sensei berinteraksi denganmu, 'kan?" tanyaku tersenyum tipis.
Ia berdecak. "Sensei ... Belum tentu mau bertemu denganku."
Aku menjitak kening--- yang seharusnya raga milik Ichinose--- dan aku akan meminta maaf begitu jiwanya kembali seperti semula.
"Ya sudah. Kuusir saja kau dengan ini. Aku tidak punya waktu untuk hantu malang yang pesimis," gertakku lagi setengah mengeluarkan kertas mantra dari saku.
"Baiklah! Baiklah! Bagaimana aku bisa bicara dengannya? Merasukimu? Tidak akan."
Karena merasuki jiwaku sangat berisiko, hal itu akan jadi tindakan terlarang. Aku tidak mau mendengar ceramah sepanjang jalan kenangan dari Inspektur Mikaze. Aku membuka dasbor Ichinose.
Kedua sudut bibirku terangkat. Bagus. Dia memilikinya.
"Lakukanlah. Setelah itu, pulang dengan tenang atau tidak, itu pilihan hatimu. Tapi inilah yang bisa membuatmu terkait dengan sensei."
Sebenarnya, cinta tak terbalas sangat menyedihkan. Bagai bunga sakura yang bermekaran, tapi berguguran saat tak lagi terasa indah. Saat semua rasa sirna ditelan kekecewaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
sʜᴀᴍᴀɴ's ʟɪғᴇ
FanfictionFiksi Penggemar Uta no Prince-sama Bahasa Indonesia. ------------------------------------------------------------- Hai, namaku [Full Name]. Usiaku 18 tahun. Memutuskan hidup di kota besar seperti Tokyo adalah hal baru bagiku. Atas dasar permintaan...