Bersiaplah, diriku!
Aku membuka pintu ruangan nomor enam.
Sepersekian detik kemudian, ruangan itu kosong melompong. Gelap. Tak bereksistensi.
Bukan di sini?
Kalau bukan, suara tawa barusan itu dari mana?
Kakiku melangkah lagi menuju sekitar lorong. Kutatap pintu nomor lima cukup lama. Apa jangan-jangan dari sini?
Memutuskan secara cepat, aku langsung bergerak menuju ruangan nomor lima.
Brak!
Di dalam hati, aku segera berjanji untuk meminta maaf kepada penghuni di sana.
"Ketuk du---" Terdengar suara pemuda di dalamnya ketika pintu kamarnya terbuka secara paksa.
Aku segera tergopoh-gopoh menghampiri arah seruan pemuda--- pemilik suara itu. Namun demi apapun, melakukan tindakan nekat ini kelihatan bodoh bagi seorang penghuni baru.
Aku yakin, gara-gara kenekatanku barusan, sang pemilik suara jadi menggagalkan smokey eyes-nya-- terlihat garis hitam tercoret kelebaran hingga ke pelipis kiri.
Benyot pula.
Meskipun aku sebisa mungkin menganggap penampilan itu dari pantulan cermin sebagai masalah sepele, tetap saja aku berakhir menyembur tawa. Kini, pemuda itu lebih mirip badut nyasar ketimbang rocker.
Alhasil, pemuda itu memandangku lekat-lekat.
"Lucu, ya? Sadar, semua ini gara-gara siapa?" tuduh suara berat semi serak itu melontarkan sarkas, yang langsung menghentikan tawaku seketika.
Aku bungkam sejenak sembari mengusap air mata yang telah menitik. "Maaf. Tidak sengaja tertawa."
"Siapa kau?" Sepasang netra berlainan warna itu kini menatapku sinis.
Kurasa aku harus memperkenalan diriku sebelum diusir secara tidak hormat.
"Namaku [Full Name] yang tinggal di ruang nomor tujuh. Maaf, tadi aku langsung masuk ke sini karena aku mendengar suara tertawa seorang perempuan...."
"Lalu kalau bukan kau yang tertawa, siapa? Terus kau ini jenis kelaminnya apa? Bencong?"
Aku menggigit bibir. "Y-ya perempuan, lah! Yang jelas bukan aku yang tertawa! Kalau aku tahu, tidak mungkin aku ke sini!"
Pemuda berambut jabrik keabu-abuan itu mengambil kapas yang basah oleh face toner lalu diusap ke pipi. "Aku tidak tahu kau berbohong atau jujur soal itu, tapi keluar sana."
"Aku tidak berbohong!" bantahku lalu melirik tangan pemuda itu bergetar ketika hendak mengambil kuas. Akibatnya, kuas eyeliner-nya justru terjatuh ke lantai.
"Kau... baik-baik saja?" tanyaku melihat air mukanya berubah drastis; pucat pasi.
Pemuda itu langsung berdiri, mendorong bahuku. Tanpa sempat aku bereaksi, pintu kamarnya tertutup rapat disertai suara bantingan keras. Aku mengerjap beberapa kali dengan posisi jatuh terduduk; syok sesaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
sʜᴀᴍᴀɴ's ʟɪғᴇ
FanficFiksi Penggemar Uta no Prince-sama Bahasa Indonesia. ------------------------------------------------------------- Hai, namaku [Full Name]. Usiaku 18 tahun. Memutuskan hidup di kota besar seperti Tokyo adalah hal baru bagiku. Atas dasar permintaan...