Sebenarnya, pemuda itu siapa?
"[Name]? [Name]-san?" tegur Ichinose melayangkan lambaian tangan tepat di wajahku.
Aku mengerjap. "Y-ya?"
"Yuk, pulang," ajak Ichinose langsung mengambil koperku.
Hijirikawa berjalan di belakangku, sedangkan aku berada di belakang Ichinose. Aku masuk lebih dulu di kursi sebelah Ichinose yang mengemudi. Sisanya, kedua pemuda itu langsung duduk di jok penumpang.
Ichinose memecah keheningan ketika menyalakan mesin.
"[Name]-san sudah pernah kuberitahu soal Mikaze-senpai, 'kan?"
"Be-begitulah," ucapku kaku lalu menoleh ke belakang, "omong-omong, kau itu tetangga baruku, 'kan? Namaku [Full Name]."
Pemuda berambut biru terang itu berkata, "Kau tidak perlu menganggapku siapa-siapa juga. Tidak penting karena kau amatiran dan payah."
Dia... sepertinya benar-benar jengkel terhadapku. Tidak hanya jengkel, melainkan menunjukkan ketidaksukaannya terhadapku. Alih-alih menghiburku agar cepat sembuh atau menanyakan kabarku, aku disemprot sindiran pedas. Dia pantas mengatakannya, apalagi karena aku telah merepotkan dirinya.
Intinya, kita tidak harus selalu hidup untuk menyenangkan orang lain maupun menyesuaikan ekspektasi.
Ichinose mengerem pelan saat rambu lalu lintas telah beralih menjadi warna merah. Manik biru cerahnya memandang kami dari kaca tengah. "Rupanya kalian sudah saling mengenal satu sama lain."
Aku mengangguk pelan. "Kalau tidak ada dia saat Masato dirasuki waktu itu, pasti aku sudah tidak bernyawa. Oleh karena itu, terima kasih, Mikaze-san."
Mikaze melirikku sepintas, lalu memandang kaca mobil tanpa ekspresi.
"Aku hanya ditugaskan oleh Saotome, jadi simpan saja ucapanmu itu dalam hati."
Aku tersenyum tipis, mungkin membiasakan diri termakan setiap ucapan. "Begitukah...."
Lain halnya, Hijirikawa yang memilih diam sejak tiba di lantai dasar, pun akhirnya menoleh ke arah Mikaze.
Hijirikawa mengusap dagu, hendak menyimpulkan sesuatu. "Kalau kau bisa menolong [Name]-san, itu artinya, kau seorang cenayang, 'kan? Kalau begitu... bolehkah kau pertemukan aku dengan hantu itu?"
Mikaze melipat kedua tangan. Di satu sisi, Ichinose yang mendengar pembicaraan kami segera mengecilkan suara instrumental klasik yang mengalun seisi mobil. Aku menatap pemuda itu harap-harap cemas--- menginginkan harapan Hijirikawa bisa terkabulkan.
Mikaze menghela napas. "Meskipun bisa, aku tidak mau. Syukur-syukur, kau masih bisa selamat meskipun sempat sekarat. Lalu, sekarang malah sok-sokan mencari perkara. Dasar bodoh."
Aku melongo. Memang ucapan Mikaze logis, tapi tetap saja, terdengar sombong dan menyebalkan. Meskipun tidak lagi ditujukan kepadaku, kata-kata itu menusuk hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
sʜᴀᴍᴀɴ's ʟɪғᴇ
FanfictionFiksi Penggemar Uta no Prince-sama Bahasa Indonesia. ------------------------------------------------------------- Hai, namaku [Full Name]. Usiaku 18 tahun. Memutuskan hidup di kota besar seperti Tokyo adalah hal baru bagiku. Atas dasar permintaan...