"Kak, izinkan aku untuk mencabut nyawanya."
Aku meneguk ludah. Orang mana pun tidak akan mengizinkan ucapan itu--- terkecuali psikopat. Aku langsung menggeleng cepat. Menghampiri gadis itu.
"Nggak boleh. Gimana kalau kamu main sama kakak aja?" tawarku mengedipkan sebelah mata, hendak mengundangnya agar niat jahatnya teralihkan.
Gadis itu sukses menolehku, tapi tidak dengan artian baik. Justru melempar tatapan menusuk.
Aku berkeringat dingin.
"Oke, boleh saja. Aku yang tentukan permainannya!" Gadis itu melipat tangan. "Aku mau kita bermain sembunyi-sembunyian. Aku yang jaga."
"Siap! Mikaze-san, ikutan juga ya!" ajakku menarik lengan Mikaze.
Pemuda berambut gondrong biru itu hanya mengedikkan bahu. "Memangnya tidak bisa hanya berdua saja?"
Ah, inspekturku tidak pernah sekalipun peka akan perasaan murid malangnya ini. Mungkin jika aku pingsan lagi seperti kasus Roberto, ia baru akan peduli. Ditambah lagi, wajahnya akan selalu berekspresi sedatar papan triplek. Aku memasang wajah memelas--- ingin dimengerti.
"Kamu juga harus ikut. Yang boleh ikut hanya orang-orang yang bisa 'melihatku'," ungkap gadis itu tersenyum penuh percaya diri.
"Lalu peraturannya seperti apa?" tanya Mikaze melipat tangan. "Berapa lama kami harus bersembunyi?"
Gadis itu tampak berhitung dengan jari-jarinya. Responsku; mengernyitkan dahi saat meratapi kesibukan sang hantu yang terlihat berpikir keras.
"Lima menit. Kalian tidak boleh terlihat olehku selama waktu tersebut. Kalau melanggar...," Hantu itu terdiam sembari memandang pintu kamar Cecil. "maka aku akan segera membunuh pria itu."
Sulit rasanya untukku meneguk ludah ketika mendengar peraturan main tersebut. Kesimpulan dari permainan ini tetap saja berujung nyawa Cecil. Dan artinya, eksistensiku di mansion ini juga berpengaruh!
"Tunggu!" cegatku sebelum gadis itu mulai bersiap-siap menggencarkan permainan. "Aku ingin kesepakatan dari nasib permainan sebaliknya. Kalau kami yang menang...."
Masa bodoh dengan Mikaze yang mulai bingung, aku pun telah menggandeng tangannya.
"Kami yang akan memulangkanmu. Tepatnya, aku. Tapi kalau kau mengingkar janji, inspektur kejam ini yang akan mengusirmu secara paksa!"
"Kejam?" Mikaze menautkan alis.
Tanpa kuindahkan ucapannya, aku mengambil ponselku lalu berkata, "Aku memasang timer lima menit yang bisa terdengar seisi mansion ini ketika waktunya sudah usai. Kau boleh mulai."
Gadis itu bergeming sekilas lalu memasang seringai karena merasa tertantang. "Call. Aku akan menghitung selama satu menit dari... sekarang!"
Tepat saat itu juga, kami (tepatnya aku yang mendesak Mikaze) segera berlari meninggalkan lorong lantai satu. Degup jantung yang berderu. Panik. Antusias. Bingung. Gelisah.
"Kita mau bersembunyi di mana?" tanya Mikaze saat kami mulai turun dari anak tangga.
Dengan napas terengah, aku berkata, "Di tempat yang tidak akan ditemui oleh gadis itu!"
Namun, aku segera tahu hal ini. Bukan karena aku paranormal atau apa, tetapi sungguh, semuanya berawal dariku.
"Woi, [Name]! Jadi mainnya nggak? Lama amat," semprot Kurosaki sibuk berbaring di sofa.
Tangan Kurosaki sibuk membolak-balik daftar kartu negara. Padahal dia tidak begitu antusias sebelum aku mengajaknya. Belum lagi, Ichinose masih berada di sana. Tentu saja aku merasa tidak enakan kepada keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
sʜᴀᴍᴀɴ's ʟɪғᴇ
FanfictionFiksi Penggemar Uta no Prince-sama Bahasa Indonesia. ------------------------------------------------------------- Hai, namaku [Full Name]. Usiaku 18 tahun. Memutuskan hidup di kota besar seperti Tokyo adalah hal baru bagiku. Atas dasar permintaan...