1. ITS = INDAH TANPA SENSOR

1.4K 14 1
                                    

Di pinggir jalan Kolonel Sugiyono, di depan Wisma tempat para pelajar SMU Nusantara III menginap. Andi, Firman juga Rio masih berdiri memperhatikan minibus yang membawa Ronny, Vino, Sulastri, Wike dan Laila meluncur menuju Kantor Polisi.

Firman, sambil menggosok-gosokkan dua telapak tangan berpaling ke timur jalan. Mobil angkutan umum yang ditumpangi Boma tak kelihatan lagi.

"Gila, sial apa kita-kita ini!" ucap si ceking Firman.

"Dwita belum lama selamat, sekarang Ibu Renata diculik orang. Lalu anak gendeng itu pergi sendirian ke Candi Sewu. Mustinya tadi kita ikut sama-sama Boma. Kalau kejadian apa-apa sama si Bonek itu, urusan bisa tambah ruwet." Andi menyambung kata-kata Firman.

"Yang aku heran," kata Rio pula.

"Semua kejadian ini serba aneh."

"Yang nyulik Ibu Renata, jangan-jangan kerjaan orang jahat yang sebelumnya nyekep Dwita di dalam stupa," ucap Rio.

"Mungkin aja," sahut Andi.
"Gagal nyelakain Dwita, kini Ibu Renata yang jadi sasaran."

"Dua-duanya orang yang seneng sama Boma," menimpali Rio.

"Kalau Trini masih di sini, jangan-jangan 'tu anak yang bakal diculik," kata Andi.

"Soalnya Trini juga naksir berat sama Boma."

"Jelas si penculik punya dendam jahat sama sohib kita itu," Andi kembali bicara.

"Kalau semua ini bukan cuma kebetulan, berarti ucapan Bokapnya Dwita, juga ucapannya Pak Sanyoto ada benernya." Firman yang kini bicara.

"Maksud lu, Man?"tanya Rio.

"Anak gendeng itu ada kaitannya sama semua kejadian ini." Jawab Firman.

"Maksud lu Boma?" tanya Rio lagi.

"Siapa lagi," sahut Firman.

"Tapi ini dugaan gue doang." Firman menambahkan.

"Biar cuma dugaan, kamu ngomongnya jangan kayak gitu Man. Boma cuma ketiban apes, tau!" Andi membela Boma.

"Sekarang 'tu anak pergi sendirian. Nggak tau jalan, nggak punya duit. Baiknya kita nyusul."

"Kita juga pada nggak tau jalan. Tungguin aja dulu teman-teman yang melapor ke Kantor Polisi." Rio memberi saran.

Sebuah becak ditumpangi dua wanita kulit putih bergaun mini meluncur melewati ketiga anak lelaki itu. Salah seorang dari perempuan bule ini duduk seenaknya.

"Ajie busyet 'tu paha. Putih banget," ucap Andi, menatap dengan mata tak berkedip.

"Pake celana apa nggak 'tu bule," kata Rio.

"Hallo Miss." Firman menegur sambil lambaikan tangan.

Salah seorang yang dihallo balas melambaikan tangan seraya berucap

"Hallo jiuuga."

Andi dan Rio tertawa geli. Firman masih memperhatikan ke arah becak yang melaju menjauh.

"Kamu masih ngeliatin aja Man. Kayaknya lu seneng banget ama bule yang dada nya gembrot. Udah lu gantiin aja jadi tukang becaknya."

Firman cuma menyengir mendengar ucapan Rio itu.

Andi yang menyeletuk.

"Anak ceking begini lu suruh ngenjot becak. Baru tiga meter jalan udah kondor dia!"

Andi dan Rio tertawa cekikikan. Si ceking Firman menyengir.

Sesaat ketiga anak ini seolah lupa akan masalah yang tengah mereka hadapi. Namun begitu becak berlalu di kejauhan Andi kembali keluarkan ucapan.

"Sekarang kita-kita ini mau ngapain? Masuk ke kamar rasanya nggak plong. Berdiri di sini lama-lama bisa disamber kendaraan."

"Kita duduk aja di teras sana. Nungguin Ronny sama yang lain-lain balik dari Kantor Polisi," usul Rio lalu mendahului melangkah ke teras penginapan.

Sesaat setelah duduk di teras Andi berkata.

"Terus terang aku nggak suka sama sikapnya Trini. Masa 'sih pulang begitu aja. Sekalipun dipaksa sama Bokapnya die musti setia kawan dong sama kita-kita. Pergi sama-sama, pulang juga musti sama-sama."

Firman menepuk nyamuk yang hinggap di lengan kirinya.

"Gue ude ceking begini masih aja lu mau ngisep darah gua! Mampus lu!" Plaak! Nyamuk di lengan mati dalam tepukan Firman.

Sambil membersihkan darah di tangannya Firman berkata.

"Aku liat, waktu ngomong sama Boma sebelum pergi, matanya Trini berkaca-kaca."

"Ala..." tukas Rio.

"Kalau dia beneran suka sama Boma, mustinya dia nggak pergi begitu aja. Padahal Dwita saingannya nggak ada lagi. Dia 'kan punya kesempatan besar. Gua rasa 'tu cewek kurang menyimak situasi. Bener 'kan teman-teman?"

"Menurut kamu 'gimana Di? " Rio bertanya pada Andi.

"Tauk! Emangnya gue pikirin." jawab Andi cuwek seenaknya.

"Kalau cewek gua model begitu, pasti gue PHK." Rio tak perduli cuweknya Andi.

"Sok, lu!" Kini Firman ceking yang menukas.

"Jangan salah paham sobat," jawab Rio masih tidak mau kalah.

"PHK yang gua maksud bukannya Pemutusan Hubungan Kerja, tapi Pencet Habis Kutangnya."

"Kalau pakai kutang, kalau nggak?" celetuk Firman.

"Berarti ITS!" sahut Rio.

"Apaan 'tuh? Apa hubungannya onderdil cewek sama Institut Teknologi Surabaya?" Firman penasaran.

Rio tertawa geli.

"Kuper lu! ITS yang gua maksud bukan Institut Teknologi Surabaya tapi Indah Tanpa Sensor."

"Sialan lu!" maki Firman.

Rio senyum-senyum sambil mengucapkan berulang-ulang kata-kata.

"Pokoknya Sekwilda... Pokoknya Sekwilda.."

"Nah, apaan lagi 'tuh?" tanya Firman tambah penasaran.

"Sekitar wilayah dada," jawab Rio lalu tertawa membahak.

Firman cuma bisa nyengir.

"Lu berdua ngomongnya pada ngacok aja!" gerutu Andi.

Tidak perduli gerutuan temannya Rio lalu melantunkan nyanyian anak-anak yang sedang ngetop, tapi dengan kata-kata diplesetkan.

"Diobok-obok airnya diobok-obok. Diobok-obok si anu jadi mabok,"

Tiga pelajar SMU Nusantara III itu, kemudian sama-sama tertawa cekikikan.

Sebuah taksi, meluncur masuk ke halaman penginapan, berhenti di depan teras. Pintu kiri belakang terbuka.

Dari ketiga anak yang memperhatikan, Firman yang pertama kali memberi reaksi.

"Eh, lu liat! Siapa yang turun."

"Nah lu! Kok balik?" Rio heran.

"Gua kira tu anak udah molor di Jakarta." celetuk Andi.

"Liat, tampangnya pucet lu."

BARA DENDAM CANDI KALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang