15. DUA MAKHLUK MEMBEKAL BARA DENDAM

744 11 4
                                    

MULUT termonyong-monyong meniup harmonika. Tangan kiri menggoyang rebana yang ada kerincingan, ditimpal tangan kanan sesekali menepuk gendang kecil yang digantung di bawah perut, kakek berambut pirang kaku melangkah meliuk-liuk sambil pantat diogel-ogel.

Di sebelah depan perutnya, sebuah anting menyantel di pusarnya yang bodong. Di belakang punggung tergantung sebuah payung kertas.

Kalau hal ini terjadi siang hari dan di tempat ramai pasti banyak orang akan mengikuti langkah si kakek.

Saat itu malam hari, sunyi dan dingin. Langit pekat menghitam. Kegelapan menyelimut dimana-mana.

Si kakek aneh terus saja berjalan meliuk-Iiuk sambil meniup harmonika, menggoyang rebana, menabuh gendang.

Di satu kelokan jalan, dekat kerimbunan semak belukar si kakek hentikan langkah lalu duduk menjelepok di tanah.

"Capek ah... istirahat dulu ah...." ucapnya.

Dia meraba saku jaket blujins sebelah kanan. Dari dalam saku jaket itu dikeluarkannya sebuah pisang rebus yang sudah medel. Kulit pisang dikupas lalu makanlah si kakek dengan mulut mengeluarkan suara berciplak keras.

Habis pisang dimakan, kakek ini julurkan kaki, usap perut beberapa kali.

"Lumayan, buat ganjalan sampai menjelang pagi. Mudah-mudahan saja besok pagi ada rejeki makanan besar menanti."

Lalu dia menguap lebar-lebar, menggeliat dan pejamkan mata seperti orang mau tidur namun di lain saat mulutnya kembali keluarkan suara.

"Perjalanan masih cukup jauh. Makhluk yang menguntit diriku sejak tadi, apakah kamu mau unjukkan diri atau mau terus saja sembunyi?"

Si kakek bicara sambil matanya memandang berkeliling.

Setelah menunggu beberapa ketika tak ada jawaban si kakek kembali berkata.

"Ah, tak ada jawaban. Tidak apa. Mungkin malu unjukkan diri karena tampangnya jelek. Bopeng barang kali! Hik... Hik... Hik! Mungkin juga yang menguntit bukan manusia tapi setan yang tidak punya wajah! Hik... Hik... Hik!"

Tiba-tiba sesiur angin bertiup. Bau harum semerbak menebar di tempat itu hingga si kakek kembang-kempis cuping hidungnya menghirup-hirup.

"Bau harum. Tapi bukan harumnya menyan. Berarti bukan setan kuburan yang lagi gentayangan," kata si kakek perlahan.

Lalu dengan suara lebih keras dia berkata.

"Mustahil ada malaikat atau bidadari turun ke bumi malam-malam begini, di tempat seperti ini. Jangan-jangan gendoruwo yang kesasar kebelet kencing, sembunyi di balik belukar. Tapi mengapa tidak ada bunyi suara besernya? Awas, kalau sampai aku sempat mengintip baru tahu rasa! Tapi! Ah tidak, jangan! Nanti mataku bisa bintitan! Hik... Hik... Hik!"

Si kakek tiup harmonikanya satu kali, goyang rebana dan pukul gendang lalu bangkit berdiri.

"Kalau tidak mau unjukkan diri ya sudah. Tapi jangan harap bakal bisa menguntit diriku lagi!"

Dua kaki si kakek bergeser di tanah. Dalam gelap tampak debu tanah beterbangan. Agaknya kakek aneh ini tengah keluarkan satu ilmu yang bisa membuat dirinya serta merta lenyap dari tempat itu dan tak mungkin dikuntit lagi.

Namun sebelum dia benar-benar berkelebat pergi, tiba-tiba terdengar satu suara.

"Aku sejak tadi ada di sini. Apa matamu buta tidak melihat?"

"Glek!"

Si kakek telan ludah terkejut. Cepat berpaling ke kiri. Astaga!

Di sisi kiri si kakek saat itu berdiri seorang gadis berwajah luar biasa cantik. Rambut pirang sepinggang, pakaian biru tipis dan tubuh menebar bau harum mewangi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 01, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BARA DENDAM CANDI KALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang