3. BOMA JADI SETAN

700 8 0
                                    

DIATAS kendaraan umum Boma Tri Sumitro duduk gelisah. Dia coba menata jalan pikiran, mengingat apa yang telah terjadi dan apa yang sekarang dihadapinya. Trini pulang ke Jakarta. Dia tidak kecewa, cuma kesal. Seharusnya Trini tetap di Jogja bersama teman-teman. Tapi anak perempuan itu pasrah saja ikut kemauan ayahnya. Dwita juga begitu.

"Diplomat bego!" maki Boma dalam hati bila ingat bagaimana dia dimaki oleh Erlan Sujatmiko -ayah Dwita- di depan teman-teman, dituduh mencelakai Dwita. Lalu Ronny Celepuk juga dimaki malah hendak dipukul. Dwita sudah selamat dan kini pasti telah berada di rumahnya di Jakarta.

Saat-saat diselamatkannya Dwita dari dalam stupa di Candi Borobudur merupakan satu peristiwa luar biasa aneh yang tidak bakal dilupakan Boma sampai kapanpun.

Dan sebagian besar dari kejadian aneh itu hanya dia sendiri yang mampu menyaksikan sementara teman-temannya tidak melihat apa-apa, semua itu telah berlalu. Kini ada kejadian yang tak kalah gawat dengan peristiwa disekapnya Dwita dalam stupa. Ibu Renata diculik!

Boma menowel hidung beberapa kali lalu mengusap dada dengan tangan kiri. Tangan ini kemudian, diletakkan di atas bahu kanan, tak sengaja tepat di atas Batu Penyusup Batin, batu sakti yang disusupkan Sinto Gendeng (baca serial/episode sebelumnya berjudul "MURIDKU MACHOKU") ke bahu kanan Boma dekat tulang belikat.

Dibawah redup lampu kecil yang menerangi bagian dalam kendaraan Boma perhatikan penumpang lain di sekitarnya. Di bangku di seberangnya duduk seorang lelaki berdampingan mesra dengan seorang perempuan muda, agaknya sepasang suami istri. Mungkin belum lama kawin.

Di sebelah mereka terkantuk-kantuk duduk seorang kakek berkaca mata tebal, mengenakan blangkon batik yang sudah pudar. Tangan kanan si kakek merangkul bahu cucunya, seorang bocah lelaki berwajah lucu bermata belok.

Boma melirik ke kiri. Di situ duduk seorang mbakyu bertubuh gemuk dengan wajah selalu keringatan. Di pangkuannya ada kotak kardus entah berisi apa. Di sebelah ujung, di samping si mbakyu ada seorang gadis remaja berjilbab.

Boma berpaling ke depan. Di samping pengemudi duduk seorang penumpang memakai topi pet merah. Tubuhnya menebar bau wangi menusuk aneh. Boma rasa-rasa pernah mencium bau wangi ini sebelumnya.

Dari keterangan Sulastri yang menyaksikan penculikan atas diri Ibu Renata, salah satu dari dua penculik ciri-cirinya sama dengan orang bermantel yang menyekap Dwita di dalam stupa.

"Pangeran Matahari, pasti Pangeran Matahari." Batin Boma berucap.

Tangan kirinya kembali mengusap bahu kanan. Tepat di bagian yang disusupi Batu Penyusup Batin.

"Heran, apa salah Ibu Renata, kok diculik?Jangan-jangan, dia marah, dendam nggak bisa mencelakai Dwita, lalu Ibu Renata yang Jadi sasaran. Tapi kenapa Ibu Renata? Bukan Sulastri, atau Gita atau cewek lainnya? Atau aku?"

Pasangan suami istri muda yang duduk di depan Boma mendadak sama-sama merasa dingin tengkuk masing-masing. Tadi keduanya menyaksikan sosok Boma yang duduk di depan mereka terlihat jelas tapi tiba-tiba saja berubah menjadi memudar samar. Mereka seolah melihat bayangan hidup. Lalu sosok yang samar ini mendadak lenyap entah kemana! Siapa yang tidak kaget? Siapa yang tidak jadi takut?

"Mas..."

Lidah sang istri seperti kelu ketika berucap. Dia pegang tangan suaminya erat-erat. Tangan dan lengan sama-sama dingin.

"Mas, situ liat nggak?"

Yang ditanya mengangguk kaku.

"Setan Mas. Barusan aku nyium bau wangi angker...!"

"Aku juga" jawab sang suami.

Tidak menunggu lebih lama lelaki ini berseru pada supir agar menghentikan kendaraan. Cepat-cepat dia menyodorkan ongkos tumpangan, lalu menarik lengan istrinya.

BARA DENDAM CANDI KALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang