WALAU tidak parah, tapi bentrokan pukulan sakti dengan Si Muka Bangkai membuat Pangeran Matahari merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya sebelah dalam.
Buktinya kecepatan larinya saat itu jauh menurun. Dia hanya mampu berlari mengikuti Kunti Api di sebelah belakang terpaut tiga sampai lima meter.
Malam gelap, di langit rembulan masih tertutup awan tebal.
"Pangeran, percepat larimu! Jangan bikin aku tambah jengkel!" Berteriak Kunti Api.
"Nenek Guru, rasanya aku menderita luka dalam. Maaf kalau aku tidak bisa berlari cepat."
Dengan kesal terpaksa Kunti Api perlambat larinya. Begitu berada di samping Kunti Api, Pangeran Matahari berkata.
"Nenek Guru. Waktu di Candi Sewu saya melepas pukulan Gerhana Matahari dengan tenaga dalam penuh untuk menghabisi anak itu. Mendadak, tidak terduga sama sekali, guru saya Si Muka Bangkai yang ada di situ, menangkis serangan maut saya dengan Pukulan Telapak Matahari. Jelas sekali tindakannya itu adalah untuk menyelamatkan anak bernama Boma yang saat itu sudah terkapar di lantai candi, dalam keadaan tak berdaya. Siap menerima kematian, dipanggang pukulan sakti yang saya lancarkan. Apa yang dilakukan guru Si Muka Bangkai bagi saya adalah satu keanehan. Keanehan pertama. Mengapa dia menolong, melindungi dan kemudian menyelamatkan anak itu? Padahal jelas, sebelumnya Nenek Guru sudah memberi tugas bahwa kita harus membunuh anak itu! Lalu ada keanehan kedua. Saya maklum Nenek Guru juga tahu kalau tingkat tenaga dalam saya saat ini sedikit lebih tinggi dari guru Si Muka Bangkai. Namun...."
Nafas Pangeran Matahari tersedak, sesaat dia tak bisa meneruskan kata-katanya.
Kunti Api lalu menjawab.
"Bagiku tidak ada yang aneh. Bukankah setelah terjadi saling hantam antara kau dan gurumu di Candi Sewu aku memberi tahu bahwa ada dua orang muncul di tempat itu secara tak terduga?"
"Saya melihat Sinto Gendeng," kata Pangeran Matahari sambil mengusap dada.
"Tapi saya tahu betul, nenek keparat itu sama sekali belum sempat turun tangan melakukan sesuatu."
"Kemunculannya memang membuat urusan kita jadi kapiran! Tapi bukan dia yang punya pekerjaan. Ada orang lain, maksudku makhluk lain yang hadir di tempat itu, Dialah yang melancarkan tangkisan hebat hingga kau terpental dan menderita luka dalam"
Terkejutlah Pangeran Matahari mendengar ucapan Gurunya itu. Dia kerahkan seluruh tenaga untuk dapat menyusul karena saat itu kembali dia tertinggal beberapa meter di belakang. Begitu berada di samping Kunti Api, Pangeran Matahari membuka mulut bertanya.
"Nenek Guru, siapa orang yang kau maksudkan itu? Makhluk katamu? Makhluk apa? Saya tidak melihat siapa-siapa."
"Akupun tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku hanya mencium bau harum samar-samar. Lalu aku melihat sosok seorang perempuan cantik tinggi semampai. Sangat samar-samar seolah dirinya terbuat dari asap. Yang aku masih ingat di kepalanya ada sebentuk mahkota..."
"Makhluk berupa perempuan cantik itu yang menyelamatkan Boma dari serangan maut saya?"
"Dugaanku memang begitu. Karena Sinto Gendeng tidak membuat gerakan apa-apa. Gurumu Si Muka Bangkai memang melancarkan serangan Pukulan Telapak Matahari dengan dua tangan sekaligus. Tapi bukan pukulan itu yang mencelakaimu. Aku melihat makhluk berbentuk asap melenggok seperti menari, lalu menggerakkan tangannya sedikit. Tidak ada angin yang bersiur, tidak ada cahaya yang berkiblat. Tahu-tahu kau mental..."
Pangeran Matahari terengah. Diam sesaat lalu bertanya.
"Nenek Guru, kau mungkin tahu siapa atau apa makhluk itu adanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BARA DENDAM CANDI KALASAN
AksiBara Dendam Candi Kalasan adalah episode kedelapan serial Boma Gendenk karya Bastian Tito yang mengisahkan tentang upaya Boma untuk menemukan dan menyelamatkan Ibu Renata, guru Bahasa Inggris SMA Nusantara III yang diculik oleh Pangeran Matahari dan...